14 TAHUN TSUNAMI ACEH
Kisah Tsunami Aceh 2004 - Kisah Romi Menolong Gadis 20 Tahun; Bawa Saya Bang, Kemana pun Abang Pergi
Hari ini, 14 Tahun lalu, atau tepat 26 Desember 2004, bumi Aceh berguncang hebat, yang tidak lama kemudian diikuti tsunami
Saya langsung menolong salah satu dari perempuan itu, yaitu yang berumur dua puluh tahun, sementara itu perempuan yang satu lagi, yang lebih tua pergi sendiri entah ke mana.
Perempuan yang satu ini kondisinya sangat lemah, seluruh tubuhnya terselubung lumpur hitam.
Saat itu pakaian yang melekat di badannya hanya celana dalam.
Gadis itu berkata kepada saya, "Bang, bawa saya mana pun abang pergi."
Saat itu saya berkata, "Iya, Dek".
Saya segera membawa gadis ke sumur seorang warga di sekitar.
Sampai di sumur saya memandikan gadis tersebut, membersihkannya dari lumpur.
Setelah bersih memandikannya saya minta selembar kain kepada pemilik rumah itu untuk memberi kepada gadis itu.
Alhamdulillah, saya diberikan selembar kain sarung, dan saya berikan kepada gadis itu untuk menutup tubuhnya.
Sementara itu, baju kaos yang saya kenakan sudah saya berikan kepadanya sebelumnya.
Setelah siap membersihkan dan berpakaian seadanya, gadis itu berkata, "Kemana lagi kita sekarang, Bang?".
Saya mengatakan, "Ke mana Allah menakdirkan kita, Dek".
Saya bawa gadis itu sampai ke Lambaro Kaphe, Aceh Besar dengan berjalan kaki sejauh kira-kira enam kilometer.
Sambil berjalan menuju Lambaro gadis itu memegang erat di leher saya. Sampai di Lambaro gadis itu minta minum.
Saya berkata waktu itu, "Saya tidak ada uang, Dek".
Dia terus berkata, "Haus..haus".
Saya sangat iba melihat rengekannya itu.
Dia memang betul-betul sangat kehausan.
Melihat keadaan seperti itu, tiba-tiba datang seorang bapak memberikan satu gelas air mineral kemasan.
Jam sudah pukul 15.00 WIB. Setelah minum sedikit saya menitipkan gadis tersebut kepada seorang yang ada di tempat itu.
Saat saya hendak meninggalkannya, gadis itu berkata, "Mau ke mana, Bang" Saya jawab, "Saya hendak balik ke Lamjame sebentar".
Dia bertanya lagi, "Untuk apa ke sana, Bang".
"Mau melihat abang saya keluarga lain di sana," jawab saya.
Dia berkata, "Jangan lama-lama Bang, saya tungg di sini."
Dengan menumpang mobil polisi yang sedang mengevakuasi mayat pada waktu itu, saya tiba di Lamteumen Timur.
Saya bertanya kepada beberapa kawan yang ada di sana "Ada lihat abang dan kakak saya?".
Mereka menjawab, Tidak tahu" Lalu saya bergegas melihat posisi rumah dari arah Lamteumen Timur.
Ternyata rumah yang saya tempati selama ini bersama kakak, abang ipar, dan tiga keponakan itu sudah rata dengan tanah.
Saya pasrahkan semuanya kepada Allah swt.
Setelah asar, kira-kira pukul 16.00 WIB, tersiar isu bahwa air laut naik lagi. Saya dengan cepat lari ke Lambaro lagi bersama ribuan masyarakat lainnya.
Setelah berlari selama 1 jam lebih saya tiba di Lambaro lagi.
Sampai di Lambaro juga masih ada teriakan-teriakan air laut naik.
Orang-orang berlarian ke arah Sibreh.
Saat berlarian tersebut banyak orang terinjak mayat yang ada di situ.
Saya melihat gadis itu masih tetap berada di tempat yang saya titipkan tadi.
Saya segera menghampiri, memegang tangannya, dan membawanya lari bersama.
Sampai di pinggir jalan kebetulan ada sebuah labi-labi (sejenis mobil angkutan kota) yang lewat di antara rombongan orang panik yang sedang berlarian menuju ke arah Sibreh.
Saya langsung mengangkat dan melemparkan gadis itu terlebih dahulu ke dalam mobil labi-labi yang sedang melaju pelan tersebut biar tidak tertinggal.
Setelah dia aman, saya pun naik. Malam itu saya tidur bersama gadis itu di Rumah Sakit Sibreh bersama orang-orang terluka lainnya.
Di rumah sakit tersebut saya melihat cukup banyak darah berceceran, mengotori lantai rumah sakit tersebut.
Cukup banyak juga orang-orang terluka yang dibawa atau dievakuasi ke rumah sakit itu.
Sekitar pukul 02.00 WIB ada dua orang nenek yang meninggal dunia.
Malam ini juga dibawa ke Lambaro. Bersamaan pengantaran dua jenazah tersebut saya minta petugas agar kami juga diberikan tumpangan ke Lambaro Kaphe.
Bersama gadis itu saya meninggalkan rumah sakit tersebut malam itu.
Kami tidak lagi di L ambaro. Sambil menunggu, saya dan gadis itu duduk di pingir berada di jalan, tanpa banyak bicara.
Ketika pagi tiba kami tetap berada di tempat itu sampai tiba-tiba datang seorang perempuan yang ternyata ibu gadis itu.
Dalam keadaan haru ibu dan anak ini saling berpelukan.
Ibu gadis itu minta terima kasih kepada saya atas bantuan yang telah saya lakukan terhadap putrinya.
Beberapa saat kemudian, sekitar pukul 09.00 WIB, mereka mohon pamit kepada saya.
Ketika itu gadis itu sempat berkata kepada saya, "Kalau kita ada jodoh, kita pasti bertemu lagi, Bang".
Setelah mengikhlaskan kepergian gadis itu bersama ibundanya, saat itu juga saya bergegas meninggalkan Kota Banda Aceh menuju ke Bireuen (daerah asal saya) dengan menumpang truk yang ketika itu hanya berjalan sampai ke Sigli.
Dari Sigli saya melanjutkan perjalanan dengan menumpang bus sampai ke Ulee Gle.
Dari Ulee Gle saya kembali harus menumpang labi-labi sampai akhirnya, sekitar pukul 17.00 WIB saya tiba di Bireuen.
Ternyata kampung saya di Bireuen, Reum Baroh, juga terkena amukan gelombang tsunami.
Selama sebulan saya berada di kampung. Itu pun menumpang di rumah orang orang yang luput dari hantaman tsunami di sana.
Setelah itu saya kembali ke Banda Aceh karena saya sedang sekolah.
Setelah sebulan mengungsi di posko pengungsian Keutapang, Darul Imarah, saya pindah dan tinggal di kantor DPP I Golkar.
Di tempat itu saya membantu mengerjakan apa saja yang bisa saya lakukan sambil menunggu keluarnya ijazah SMA.
Dalam kejadian itu saya kehilangan kakak, abang ipar, dan tiga keponakan, yaitu keluarga tempat saya menumpang selama ini.
Selama bersama gadis itu saya tidak merasakan perasaan khusus terhadapnya. Semua berjalan biasa saja.(*)