Harga Menggiurkan, Warga Satu Dusun di Sragen Beramai-ramai Jadi Pemburu Kelabang
"Jika ada ular, saya mending lari. Digigit kelabang paling bengkak, digigit atau dibelit ular bisa mati," ujarnya terkekeh.
TRIBUNBATAM.ID, SRAGEN - Banyak hobi, bahkan pekerjaan dilakukan orang, meski itu tidak lazim.
Hobi mencari ular, atau mencari biawak, atau hobi berburu tupai, mungkin sudah banyak dilakukan orang.
Tahukah Anda jika berburu kelabang pun menjadi trend di sebuah desa di Sragen, Jawa Tengah?
Berburu kelabang atau menjadi pemburu kelabang (Scolopendra sp) menjadi pekerjaan banyak warga di Dusun Teguhan RT 1, Desa Tempelrejo, Kecamatan Mondokan, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.
• Jembatan Karya BJ Habibie di Batam Dua Kali Ditabrak Kapal Asing, Polisi Usut Insiden Eastern Glory
• Cara Mengatasi Insomnia Tanpa Obat Tidur, Ikuti 5 Tips Ini
• Terpengaruh Hasutan Dukun, Suami Istri Ini Kubur Bayinya Hidup-hidup karena Dianggap Akan Bawa Sial
Memang faktor ekonomi menjadi salah satu daya tarik warga. Meski harga tidak tergolong fantastis, namun warga melihat keberadaan kelabang bukanlah tidak memiliki nilai ekonomi.
Berapa harga kelabang atau juga biasa disebut lipan itu?
"Harga kelabang paling mahal kelabang kisaran Rp 2.200 untuk kelabang besar. Harga yang kecil rata-rata Rp 1.100," jelas Dika, salah seorang warga pemburu kelabang, sebagaimana dikutip tribunjogja.com, Selasa (22/1/2018).
Dika kemudian menjual per satuan kepada pengepul kelabang. Pengepul memang membelinya per ekor, bukan per ons atau sentimeter.
Menurut Dika, ada fenomena unik yang biasa dia temukan sewaktu berburu kelabang.
"Kalau banyak kelabang di suatu tempat, biasanya ada ular hijau. Entah apakah mereka berteman atau bagaimana," jelas Dika tertawa.
Sebenarnya pengepul juga menerima ular jika ada pemburu yang mendapatkan ular saat mencari kelabang.
Namun, kalau menemui ular Dika memilih tidak menangkapnya.
"Jika ada ular, saya mending lari. Digigit kelabang paling bengkak, digigit atau dibelit ular bisa mati," ujarnya terkekeh.
Dia jarang mencari kelabang sendirian, apalagi di luar daerah.
Dika lebih suka mencari kelabang dengan temannya, dua hingga tiga orang. Tak jarang pula bersama sang ayah.
"Saya pasti bawa teman. Takutnya kalau sendiri pas ada kejadian yang tidak diinginkan, tak ada yang menolong," jelasnya.
Tak banyak pula teman yang dia ajak.
Pasalnya, semakin banyak teman saingannya mencari, maka hasil perburuan pun menjadi sedikit.
Tidak inginkah bekerja selain mencari kelabang?
"Ya, jelas ingin. Tidak blusukan ke ladang atau alas seperti sekarang. Tapi saya lebih berat keluarga saya karena pernah merantau," terang dia.
Pencarian kelabang selain di Sragen pernah dilakukannya di Boyolali, Karanganyar, Klaten, dan Grobogan.
Sesekali pula dia sampai ke Ngawi di Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan Sragen. Ngawi adalah daerah pencarian favoritnya.
"Kalau mau dapat banyak, mencari di alas-alas Ngawi. Banyak kelabang di sana," paparnya.
Karmanto, ayah Dika mengatakan sudah sejaksejak se dasar bahkan sudah mencari kelabang.
"Jadi sejak SD, saya diajak bapak saya berburu kelabang. Kemudian setelah menikah dan punya anak, saya juga anak saya Dika mencari kelabang. Saat itu dia sudah SMP," terang Karmanto.
Apakah hasil pekerjaan berburu kelabang ini cukup menghidupi keluarga?
"Cukup nggak cukup. Manusia itu selalu kurang," papar Karmanto.
Di saat musim kemarau, Karmanto juga menjadi kuli bangunan.
• Formasi Persib 2019 Dikaitkan dengan Fabiano Beltrame. Nilai Transfer Rp1,6 Miliar
• Intip 5 Tips Gaya Hidup Sehat Ala Keluarga Kerajaan Inggris
Kelabang memang jarang ditemui pada musim kemarau.
Suwito (50), tetangga warga Teguhan ini sudah sejak dua tahun lalu menjadi pengepul kelabang dari masyarakat setempat.
Menurut Suwito, kelabang yang telah terkumpul dari warga setiap 3-4 hari sekali disetorkan lagi ke pengepul besar. Pengepul itu berada di Grobogan.
"Sekali menyetorkan ke bos saya biasanya belasan ribu. Minim 3.500 kelabang," ujar Suwito.
Apa sih manfaat atau digunakan untuk apa kelabang-kelabang tersebut?
Suwito mengaku juga tidak tahu persis manfaat lipan.
Mengutip bosnya, dia menyampaikan kelabang ini akan diolah menjadi campuran obat di China dan Korea.
"Tahunya untuk racikan obat. Obat apa? Saya juga tidak tahu. Saya hanya dibilang demikian," terangnya.
Berapa keuntungan Sawito dari setiap ekor kelabang yang dijual tersebut?
Dia enggan menjelaskan. Ia hanya menyebut bahwa hasilnya cukup lumayan, setidaknya bisa untuk membeli kelabang-kelabang lagi dari warga, sekaligus memutar roda bisnisnya. (*)
