Syafruddin Tumenggung Bebas jeratan Korupsi, Sjamsul Nursalim Bisa melenggang Bebas?

Dengan bebasnya Syafruddin Tumenggung, apakah bisa membuat Sjamsul Nursalim yang saat ini bersembunyi di Singapura bisa melenggang?

Kontan/Gatra
Sjamsul Nursalim dan tambak udang Dipasena Lampung 

Ketidakhadiran mereka di muka hukum memungkinkan KPK untuk menyidangkan Sjamsul dan Itjih secara in absentia atau tanpa kehadiran terdakwa di pengadilan.

 "Kalau yang bersangkutan dipanggil tidak hadir entah karena kesehatan, usia atau alasan lain, dimungkinkan dalam hukum acara pidana disidangkan dengan cara in absentia," kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, beberapa weaktu lalu.

Dari Ban Hingga Softek

PT Gajah Tunggal Tbk milik keluarga Nursalim melantai di bursa dengan kode emiten GJTL.

Usahanya meliputi pengembangan, pembuatan dan penjualan barang-barang dari karet, termasuk ban dalam dan luar segala jenis kendaraan, flap dan rim tape serta juga produsen kain ban serta karet sintesis.

GJTL memproduksi ban dengan merek Zeneos dan GT Radial.

Gajah Tunggal memiliki sejumlah anak usaha, di antaranya PT Softex Indonesia yang memproduksi pembalut wanita, PT Filamendo Sakti, pabrik benang serta PT Dipasena Citra Darmadja, usdaha tambak udang yang mkendapat kucuran BLBI di Lampung.

Nursalim juga pemilik saham perusahaan petrokimia Polychem Indonesia Tbk --dulu GT Petrochem-- yangt pemproduksi poliester dan zat kimia, etilena glikol.

Perusahaan ini juga melantai di bursa dengan kode ADMG.

Nursalim juga pemegang merek sejumlah ritel dan gerai merek ternama untuk Indonesia, seperti Starbuck, Burger King, Sogo, Zara dan Sport Station.

Sengketa dengan Petambak

Dalam persidangan, Juli 2018, para petambak udang yang bekerja sama dengan PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM) milik Dipasena Group juga dihadirkan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor sebagai saksi.

Lima petambak bersaksi untuk terdakwa Syafruddin.

Dalam persidangan, para petambak mengaku diperas oleh PT DCD dan PT WM milik Sjamsul Nursalim itu.

"Kami dijadikan seperti sapi perah dan bebek petelur," ujar Towilun, seorang petambak.

Menurut Towilun, awalnya pada 1995 dia ditawari kerja sama oleh PT DCD. Saat perjanjian kerja sama dilakukan, para petambak dikumpulkan dalam suatu ruangan.

Para petambak diminta menandatangani perjanjian kerja sama tanpa diperbolehkan membaca surat perjanjian oleh pihak DCD.

Hal serupa juga terjadi saat petambak diminta menandatangani akta kredit.

Menurut Towilun, petambak dijanjikan kredit Rp 135 juta. Dalam pengarahan, petambak diberi tahu bahwa petambak dapat melunasi utang setelah bekerja selama 6-8 tahun dan setelah itu tambak menjadi hak milik petani.

"Yang Rp 90 juta investasi perlengkapan budidaya. Yang Rp 45 juta buat modal kerja, beli pakan, beli telur dan kebutuhan hidup," kata Towilun.

Faktanya, setiap petambak tidak diberikan uang tunai Rp 135 juta. Dipasena memberikan secara bertahap berupa modal kerja dan investasi perlengkapan.

Setelah itu, menurut Towilun, petambak tidak pernah diberi tahu sampai kapan utangnya akan lunas. Petambak hanya diminta menyerahkan seluruh hasil tambak udang untuk dijual oleh PT DCD.

"Setelah udang panen, harus diserahkan pada perusahaan. Kami tidak menerima duit, hanya laporan dalam bentuk kertas," kata Towilun.

Menurut Towilun, harga penjualan udang oleh PT DCD paling rendah mencapai Rp 181 juta dalam sekali panen, namun harga beli dari petambak jauh lebih murah.

Selain itu, perusahaan tidak pernah menjelaskan posisi utang para petambak.

Menurut Towilun, apabila hal itu ditanyakan, petambak justru akan mendapat intimidasi dari pihak perusahaan.

Belakangan, kredit petani ke BDNI macet, namun oleh BPPN, pembayarannya tidak dibvebankan kepada DCD sebagai penjamin.

Auditor dari kantor akuntan publik Prasetio Utomo and Co, Rukyat Kosasih dalam kesaksiannya menyebutkan bahwa kredit dari PT DCD dan WM kepada plasma, atau para petambak udang macet.

Begitu juga utang PT Dipasena kepada BDNI juga macet dan melampui plafon yang disepakati.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved