Populasi Singapura Tumbuh 1,2 Persen, Tapi Jumlah Penduduk Asli Tak Bertambah, Kebanyakan Pendatang
Dari jumlah populasi yang naik itu, jumlah penduduk asli Singapura justru naik tipis, hanya 0.8 persen dibanding tahun sebelumnya, 3,5 juta orang
Dari PR baru, 62,5 persen berasal dari negara-negara Asia Tenggara, 31,2 persen dari negara-negara Asia lainnya dan 6,3 persen dari negara-negara di luar Asia.
Masalah Regenerasi

Dari catatan Tribun, Singapura dan Jepang adalah negara Asia yang mengalami masalah regenerasi dalam dua dekade terakhir.
Jumlah kelahiran bayi di Singapura turun hingga ke angka terendah dalam delapan tahun terakhir. Kondisi ini membuat negara itu dihadapkan pada permasalahan demografis populasi kelompok masyarakat tua.
Laporan pencatatan kelahiran dan kematian Singapura pada 2018 memperlihatkan pada tahun lalu ada 39.039 kelahiran yang terdaftar atau turun 1,5 persen dibanding 2017.
Pada saat yang sama, angka kematian naik 1,8 persen menjadi 21.282 dibanding 2017 yang sebesar 20.905, seperti dilansir asiaone.com pada 22 Juli 2019 lalu.
Populasi kelompok masyarakat tua di Singapura menunjukkan angka kematian di negara itu naik sejak 1998 yang ketika itu tercatat 15.657 kematian.
Total rata-rata fertilitas Singapura juga turun dari 1.16 pada 2017 menjadi 1.14 pada tahun lalu. Angka itu di bawah replacement rate, yakni 2.1.
Menurut Tan Ern Ser, sosiologis dari Universitas Nasional Singapura atau NUS, turunnya tren angka kelahiran di Singapura kemungkinan akan terus berlanjut.
Kenyataan ini sangat mengkhawatirkan karena populasi harus diregenerasi sehingga perekonomian suatu negara bisa terjaga.
Kang Soon-Hock, asisten profesor dari Universitas Singapura bidang ilmu sosial mengatakan angka kelahiran merefleksikan tren ekonomi - sosial.
Misalnya, kalangan anak muda lebih memilih hidup melajang atau pasangan yang memutuskan menunda punya bayi karena alasan pekerjaan.
Sedangkan Jean Yeung, profesor dan direktur Pusat Penelitian Keluarga dan Populasi dari NUS berpandangan, naiknya ketidakpastian karena gangguan digital, keuangan global dan perubahan iklim juga ikut berpengaruh.
"Faktor-faktor itu kemungkinan ikut mencegah pasangan untuk berfikir dengan hati-hati saat memutuskan punya anak atau tidak," kata Yeung.
