TRIBUN WIKI
KISAH Hidup RA Kartini, Putri Bangsawan yang Berani Memperjuangkan Nasib Wanita
Perjuangan Kartini dalam menegakkan emansipasi wanita bukan hal yang mudah. Dia meninggal di usia 25 tahun, 4 hari setelah kelahiran anaknya.
Murid-murid di sekolah ini rata-rata adalah anak bupati, bangsawan, anak Belanda, atau anak-anak keturunan Belanda-Indonesia.
Sementara anak-anak orang biasa tidak diizinkan untuk sekolah di sekolah tersebut.
Namun ketika Kartini berusia 21 tahun dan meminta untuk melanjutkan sekolah ke HBS, ayahnya menolak keras.
Bagi Sosroningrat, tujuan menyekolahkan seorang anak perempuan tidak lebih dari supaya mereka menjadi seorang Raden Ayu (istri) yang baik, yang bisa berbahasa Belanda, mengenal tata cara Belanda, serta dapat menerima tamu orang-orang Belanda.
Oleh karena itu pendidikan di ELS bagi Sosroningrat sudah cukup bagi seorang anak perempuan seperti Kartini.
Apalagi usianya saat itu sudah seharusnya menjalani masa pingitan, sesuai dengan adat istiadat yang berlaku. Tidak bebas lagi keluar rumah dan gerak-geriknya dibatasi.
Riwayat Karier
Sejak sekolah di ELS, Kartini sudah sangat hobi membaca.
Kegemarannya membaca mendapat dukungan dari ayahnya ketika ia dipingit dengan membelikannya buku-buku dan majalah.
Di usiannya yang ke 20, ia bahkan banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt.
Kartini juga membaca berbagai roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa Belanda.
Ia juga membaca karya-karya Multatuli.
Dari berbagai buku, majalah, dan surat kabar Eropa itulah, Kartini mulai tertarik dengan cara pikir perempuan Eropa.
Dari situ ia mulai berpikir untuk memajukan perempuan-perempuan pribumi kala itu.
Sebab saat itu di pikirannya, kedudukan wanita pribumi masih jauh tertinggal atau memiliki status sosial yang cukup rendah kala itu.