Lewat Promosi Kim Yo Jong, Pakar Ungkap Kim Jong Un Bisa Dikudeta Adiknya Sendiri
Seorang pakar menuturkan jika Kim Jong Un berpotensi dikudeta oleh sang adik, Kim Yo Jong. Dia menuturkan politik Korea Utara memang tak bisa ditebak.
TRIBUNBATAM.id, PYONGYANG - Seorang pakar menuturkan jika Kim Jong Un berpotensi dikudeta oleh sang adik, Kim Yo Jong.
Terlebih, lewat promosi adik Pemimpin Korea Utara itu di politbiro Partai Buruh Korea.
Pakar tersebut adalah Roy Calley, pakar yang sering berkunjung ke Korut sekaligus penulis buku Look With Your Eyes and Tell the World.
Dia mendasarkan pendapatnya pada publikasi Daily NK, di mana Kim Yo Jong menghadiri pertemuan politbiro pada 2 Juli lalu sebagai anggota tetap.
Dilansir Daily Express Minggu (19/7/2020), kabar itu menjadi indikasi jelas bahwa dia "meneguhkan" posisinya sebagai orang nomor dua Kim Jong Un.
"Kabar ini meyakinkan saya bahwa saat ini dia tengah beranjak menuju ke posisi yang memberikannya kekuasaan tak terbatas," ujar Calley.
• Korea Utara Salahkan Komentar Amerika Serikat Soal Laut China Selatan, Gabung ke Kubu China?
Dia menuturkan politik Korea Utara memang tak bisa ditebak. Tapi dia menduga, pendekatan lembut yang dibawakan oleh Kim kakak nampaknya tidak berhasil.
Karena itu, pendekatan keras pun dibawakan oleh Kim adik. "Sulit membayangkannya menikmati percakapan hangat dengan (Presiden AS Donald) Trump," kata dia.
Apalagi pada pekan lalu, Kim junior sempat memberikan opini pribadi, di mana dia menyatakan pertemuan lain dengan Trump tidak akan memuaskan mereka.
Pernyataan itu menekankan bahwa perundingan dua negara tidak akan terjadi, kecuali Washington "mengubah perilaku", dan mengakhiri "kebijakan bermusuhan" mereka.
Calley melanjutkan, dia masih mempertanyakan apakah Kim kakak masih mempunyai masalah dengan kesehatannya, di mana dia sempat dirumorkan meninggal pada April lalu.
"Sangat dimungkinkan Kim Jong Un berkutat dengan kesehatannya, jika dia memang masih hidup, di mana adiknya semakin dekat dengan kekuasaan," jelasnya.
"Hal-hal yang terjadi di Korea Utara terjadi karena sebuah alasan. Tidak pernah sifatnya karena kecelakaan," papar Calley.
Profesor James Hoare dari School of Oriental and African Studies di London, Inggris, memberikan ulasan bahwa apa yang dilakukan Kim adik bukan hal baru.
Dia menjelaskan media resmi Korut, KCNA, sering memberitakan pernyataan resmi. Baik itu dari petinggi partai maupun pejabat pemerintahan, atau bahkan pemimpin tertinggi sendiri.
Ketika Kim Il Sung masih berkuasa, saudaranya sering memberikan pernyataan. Kemudian sang anak, Kim Jong Il, berricara atas namanya.
Profesor Hoare mengatakan, tidak dipungkiri Kim Yo Jong, yang sempat digadang-gadang menjadi penerus kakaknya, semakin meningkat popularitasnya.
Dia menuturkan saat ini perpolitikan Korut lebih banyak dipegang sang adik, dengan pakar meyakini dia akan segera menggeser kakaknya sebagai orang nomor satu.
Jika mungkin terjadi perdebatan mengenai penggantinya, Hoare menduga Kim Jong Un akan mengambil sikap wait and see terkait dinamika di Korea Utara.
"Bagi saya, pernyataannya (Kim Yo Jong) sangat keras namun tidak menutup semua pintu kemungkinan. Dia berada di posisi yang menguntungkan," tukasnya.
Korea Utara Salahkan Komentar Amerika Serikat Soal Laut China Selatan, Gabung ke Kubu China?
Ketegangan kembali dirasakan oleh Korea Utara dan Amerika Serikat ( AS).
Terbaru, Korea Utara menyalahkan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat ( AS), Mike Pompeo atas komentarnya terkait konflik di Laut China Selatan.
Dilansir dari Korea JoongAng Daily, Rabu (15/7/2020), hal ini menandakan Korea Utara berada dalam kubu China dalam keretakan hubungan antara China dengan Amerika Serikat.
Melalui media resmi Pemerintah Korea Utara KCNA, Kementerian Luar Negeri Korea Utara mengatakan bahwa Pompeo membuat komentar yang sembrono atas klaim China terhadap Laut China Selatan.
“Bahwa negara non-Asia di seberang lautan, tidak puas dengan pernyataan cerobohnya atas masalah Laut China Selatan, telah melakukan pelecehan terhadap Partai Komunis China,” bunyi pernyataan tersebut.
Pernyataan tersebut menambahkan Pompeo telah melabeli Partai Komunis China sedemikian rupa seperti Covid-19 sebagai krisis yang disebabkan oleh China, jaringan 5G sebagai alat China, dan lain-lain.
Pernyataan itu muncul sebagai tanggapan atas pengumuman Pompeo bahwa Amerika Serikat secara resmi menolak sebagian besar klaim Beijing di Laut Cina Selatan, Senin (13/7/2020).
Pompeo juga menambahkan pihaknya akan mendukung sekutu dan mitra AS di Asia Tenggara untuk melindungi hak kedaulatan mereka atas sumber daya di lepas pantai.
Kementerian Luar Negeri Korea Utara menambahkan bahwa kritik dari Pompeo terhadap China tersebut juga dimaksudkan untuk menodai kepercayaan orang-orang China pada Partai Komunis China.
“Untuk menodai prestise internasional Partai Komunis China dan untuk mengalahkan China dengan pelecehan terus-menerus dari dalam dan dari luar,” sambung pernyataan tersebut.
Pernyataan tersebut merupakan pernyataan pertama dari Korea Utara yang mendukung China atas konfliknya China dengan AS terkait Laut China Selatan belakangan ini.
Pada Agustus 2019, Korea Utara mendukung langkah China untuk mempertahankan kedaulatan atas Hong Kong. Ketika itu, gelombang demonstrasi pro-demokrasi di Hong Kong tengah menggelora.
Korea Utara juga menuduh pasukan asing juga berusaha ikut campur dalam urusan dalam negeri China.
Dukungan terhadap China atas masalah Hong Kong kembali dilontarkan Menteri Luar Negeri Korea Utara, Ri Son-kwon, kepada duta besar China di Korea Utara, Li Jinjun.
Tahun lalu, Korea Utara bersama 36 negara lain menandatangani surat dukungan terhadap China yang dituduh memenjarakan etnik minoritas Uighur di provinsi Xinjiang.
Rangkaian pernyataan dan tindakan yang dilontarkan Korea Utara sangat menonjol. Itu karena Korea Utara jarang mengeluarkan komentar resmi tentang urusan global yang secara langsung tidak melibatkan dirinya.
Langkah Korea Utara tersebut diyakini sebagai upaya untuk membuat hubungan dengan Beijing semakin hangat. Baru-baru ini China ini memasok bantuan pangan ke Korea Utara.
Cina adalah mitra ekonomi terdekat Korea Utara. Kedua negara ini juga menjalin aliansi militer ketika China membantu Korea Utara selama Perang Korea 1950 hingga 1953.
Trump Ungkap Ingin Bertemu Kim Jong Un, Korea Selatan Mendukung, Korea Utara Merasa Tak Butuh
Donald Trump dikabarkan ingin bertemu dengan Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un.
Keinginan Presiden Amerika Serikat ( AS) itu disampaikan lewat eks Penasihat Keamanan Nasional AS, John Bolton, Kamis (2/7/2020).
Menanggapi hal ini, Korea Utara menyatakan, mereka "merasa tidak butuh" untuk melanjutkan pembicaraan dengan Amerika Serikat.
Wakil Menteri Luar Negeri Korea Utara, Choe Son Hui menyampaikan itu setelah tetangga, Korea Selatan (Korsel), menyerukan adanya pertemuan tingkat tinggi lain dengan Pyongyang.
John Bolton juga mengungkapkan kepada media setempat bahwa Trump ingin melakukan pertemuan dengan pemimpin negara komunis itu pada Oktober.
Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in mendukung terealisasinya pertemuan kedua kepala negara yang telah lama ia harapkan.
Moon mengatakan bahwa Korea Selatan akan melakukan "upaya terbaik" untuk membantu mewujudkannya.
Tetapi Choe mengatakan bahwa Pyongyang "tidak merasa perlu duduk berhadapan dengan AS", yang mana pernyataan itu disiarkan oleh Kantor Berita Pusat Korea Utara, atau KCNA.
Sang wakil menteri luar negeri itu menyebut bahwa AS adalah "pemimpi" yang berharap untuk "kejutan Oktober".
"AS keliru jika berpikir hal-hal seperti negosiasi masih akan berhasil pada kita," kata Choe.
Ia menyampaikan secara resmi atas nama negara bahwa Washington "menganggap dialog DPRK (Rakyat Demokratik Rakyat Korea)-AS tak lebih dari alat untuk mengatasi krisis politiknya".
Melansir dari AFP (4/7/2020), Bolton dilaporkan mengatakan Trump akan bertemu dengan Kim jika itu akan membantu peluang pemilihan Trump kembali.
Sementara, Korea Utara "sudah menyusun jadwal strategis yang terperinci" untuk menangani "ancaman jangka panjang" dari Washington, kata Choe.
Pembicaraan tentang persenjataan nuklir Pyongyang telah mandek sejak pertemuan puncak Hanoi antara Trump dan Kim runtuh, pada awal 2019.
Laporan terbaru mengatakan, Wakil Menteri Luar Negeri AS, Stephen Biegun akan mengunjungi Seoul pekan depan untuk membahas pembicaraan dengan Pyongyang, meskipun Korsel belum mengonfirmasi pertemuan itu.
Juni, Pyongyang mengeluarkan serangkaian kecaman pedas terhadap Korea Selatan atas selebaran anti-Pyonyang yang dikirim para pembelot di perbatasan kedua negara.
Selebaran itu biasanya dikirim dengan dilekatkan pada balon atau dimasukan ke dalam botol dan diapungkan ke sungai.
Serangan para pembelot telah meningkatkan ketegangan kedua negara yang mendorong Korea Utara meledakkan kantor penghubung Kaesong, dan mengancam mengerahkan militer.
Namun, pekan lalu dikatakan mereka telah menangguhkan rencana-rencana itu yang dapat menekan ketegangan.
Pernyataan Choe muncul sehari setelah Cheong Wa Dae atau Gedung Biru, sebutan kantor kepresidenan Korsel, mengumumkan kepala intelijen sudah ditunjuk.
Dia adalah Park Jie-won, mantan politisi yang memainkan peranan penting dalam mengatur KTT Antar-korea pertama pada 2000-an silam.
Langkah ini secara luas dilihat sebagai tekad Moon untuk mempertahankan kebijakan pro-keterlibatan, meskipun Korea Utara mengabaikan moratorium uji coba nuklir dan rudal.
(*)
• Perkuat Posisinya di Korea Utara, Kim Yo Jong Dianggap Sebagai Orang Nomor 2 Setelah Kim Jong Un
• Kim Yo Jong Sebut Korea Utara Belum Berhenti Buat Senjata Nuklir, Adik Kim Jong Un Beri Peringatan
• Kim Jong Un Klaim Sukses Besar Tangani Covid-19, Tak Laporkan Penemuan Kasus di Korea Utara
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pakar Sebut Kim Jong Un Bisa Dikudeta Adiknya Sendiri, Kim Yo Jong".