KISAH MIRIS 4 PELAJAR Masuk Sarang ULAR demi Belajar Daring, Setiap Pagi Jadi Pemburu WiFi
Pandemi yang tak jelas berakhir kapan membuat empat pelajar menjadi pemburu WiFi. Mereka memburu akses WiFi hingga ke sarang ular
Editor: Azmi S
TRIBUNBATAM.id, LAMPUNG - Cerita miris dialami 4 pelajar di Bandar Lampung.
Pandemi yang tak jelas berakhir kapan membuat mereka menjadi pemburu WiFi.
Bukan di kafe atau pusat-pusat keramaian 4 pelajar ini berburu akses WiFi tetapi sampai ke sarang ular.
Ali (15), Firnando (15), Rezi (12) dan Faiz (12) yang tinggal di Jalan Nangka, Gang Stiap, Kelurahan Sepang Jaya, Kecamatan Kedaton setiap pagi duduk berjajar di samping tembok indekos pemilik akses internet.
Hanya beralaskan papan mereka berteduh di bawah pohon pisang dan mereka mengikuti pelajaran dengan penuh semangat.
• Keluhan Anak Nelayan di Pulau yang Harus Belajar Daring, Gak Punya HP Bahkan Internet
• Siswa Kota Gurindam Masih Belajar via Daring, Orangtua Waswas Anak Masuk Sekolah di Masa Pandemi
• Mengapa Jenuh Belajar Daring dari Rumah?
Ali, siswa kelas 10 SMA Gajah Mada menuturkan, mengikuti pelajaran secara daring cukup menguras kuota Internet.
Sementara ayahnya seorang kuli bangunan hanya mampu memberi jatah kuota 1 GB per pekan.
Sedangkan, kata Ali, kebutuhan mengikuti pelajaran, satu hari bisa memakan kuota internet sampai 1 GB lebih.
"Kalau cuma mengirim tugas paling habis 500 MB, tapi kalau ikut Zoom bisa 1 GB lebih," ujar Ali, Kamis (23/7/2020).
Karena tak ingin memberatkan orangtuanya, Ali setiap pagi bersama 3 kawannya nongkrong di bawah pohon pisang dekat rumahnya untuk mendapatkan internet gratis dari WiFi yang dimiliki tetangga.

Menurut Ali, mereka sudah mendapatkan izin dari sang pemilik indekos untuk menggunakan akses WiF.
Namun, lanjut Ali, pemilik indekos memberikan syarat untuk tidak menyebarkan kata sandi akses ke orang lain.
"Yang punya WiFi sudah meninggal tapi dia kasi izin kami buat pake WiFi-nya," kata Ali.
Meski sudah ada alternatif lain pengganti kuota, namun Ali dan temannya masih mendapati kendala.
Terutama saat hujan turun, mereka tidak bisa mengikuti pelajaran pada hari itu.
"Kadang gak bisa absen, kadang juga ngirimnya telat jadi gak diterima lagi sama gurunya," timpal Firnando.
Siswa kelas 9 SMP Negeri 19 Bandar Lampung ini mengaku pasrah saat hujan turun di pagi hari.
Karena tak ada pilihan lain selain menggantungkan akses internet dari WiFi milik tetangga.
• Mengenal Zoom Fatigue, Perasaan Lelah ketika Sering Melakukan Pertemuan Daring dan Gejalanya
• Beda 10 Hari, Kadisdik Karimun Pertimbangkan Opsi Pengumuman Daring untuk Kelulusan Siswa SD dan SMP
"Kalau kuota ada enak, masih bisa kirim tugas, ikut Zoom."
"Ya kalau lagi gak ada, terpaksa absennya dibuat alpa (tidak hadir)," terangnya.
Tak ubahnya Ali, Firnando pun hanya mendapatkan jatah kuota internet dari orangtuanya 1,5 GB per pekan.
Jatah tersebut diakui Firnando jauh dari kata cukup, karena penggunaan per hari bisa lebih 500 MB.
Kondisi keuangan ayah Firnando yang hanya bekerja sebagai juru parkir tidak memungkinkan memberi kuota lebih.
Keberanian Ali dan kawan-kawan berburu WiFi tetangga jadi perhatian warga sekitar.
Pasalnya tempat mereka menyambungkan koneksi internet itu dikenal sebagai tempat atau sarang ular.
Namun bagi Ali maupun Firnando hal itu tidak menyurutkan mereka untuk tetap dapat mengikuti pelajaran secara online.
Kedatangan ular maupun hewan liar lain hanya membuat mereka terkejut.
Tak jarang ular tersebut ditangkap sendirian oleh Firnando.
"Gak takut, kadang lagi mau ngirim tugas ada Biawak.
Pernah juga ada ular sanca tiba-tiba nongol," kata Firnando.
Orangtua Rezi, Eni Murya Sari (38) mengaku prihatin dengan kondisi anaknya.
• Terkait Corona, BPOM Kepri Ubah Pelayanan, Siapkan Layanan Daring
• Jika Sekolah Bisa Gelar Ujian Daring dari Rumah Siswa, UNBK Bisa Tetap Digelar, Tapi…
Dirinya waswas saat anaknya masuk ke dalam kebun pisang demi menyambung internet.
Karena keadaan ekonomi keluarga yang tak memungkinkan, Erni hanya bisa memantau dari kejauhan.
"Sebenarnya waswas karena di sini sarang ular, tapi mau gimana lagi, mau beli kuota kita gak ada uang," kata Eni.
Karena itu, setiap anaknya berburu WiFi di kebun belakang rumah, Eni memastikan tak terjadi apa-apa terhadap anaknya.
"Sebentar, sebentar pasti saya panggil.
Namanya ibu sama anak pasti cemas, tapi mereka ya biasa saja, gak takut gitu," katanya.
Menurut Eni, sistem belajar daring sangat memberatkan, karena harus menambah pengeluaran selain untuk membeli kebutuhan pokok.
Ia merinci, untuk anaknya yang duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) ini, bisa menghabiskan uang Rp 200 ribu sebulan hanya untuk beli kuota internet.
"Mending belajar di sekolah saja, dengan uang segitu sudah bisa beli kebutuhan sehari-hari buat sebulan," keluh Eni.
(*)
Artikel ini telah tayang di tribunlampung.co.id dengan judul Masuk Sarang Ular Demi Belajar Daring, Cerita 4 Pelajar di Bandar Lampung Tak Mampu Beli Kuota