Kisah PSK Online di Semarang: Mengaku Dari Ayam Kampus, Diajak Nikah Siri, Sekarang Jualan Baju
Selama pandemi covid-19, banyak dijumpai sejumlah perempuan menawarkan diri melalui media sosial termasuk Facebook.
Seharusnya Pemerintah Memfilter Akun
Sejak zaman dulu hingga kini ada prostitusi di masyarakat.
Hal itu sulit untuk dihilangkan karena ada faktor pembeli atau pengguna jasa PSK.
Di Indonesia, prostitusi atau pelacuran sudah ada sejak abad 18.
Hukum di Indonesia juga tidak melarang prostitusi, kecuali muncikari.
Maka setiap ada kasus prostitusi, para PSK dan pengguna tidak dapat dijerat hukum.
Karena prostitusi tanpa paksaan tidak merupakan perbuatan pidana di Indonesia.
Ketika media sosial mulai berkembang dan masuk di Indonesia, para pengguna dan PSK memanfaatkan hal tersebut untuk menjadi media kopi darat, atau istilah saat ini yaitu prostitusi online.
Terlebih di saat pandemi Covid-19 seperti saat ini, prostitusi online semakin marak karena faktor kebutuhan finansial.
Ketua PW Muhammadiyah Jawa Tengah, H Tafsir, prihatin dengan maraknya prostitusi online di tengah pandemi Covid-19.
Ia menyayangkan masih banyak masyarakat yang lebih cari penghasilan secara tidak halal.
"Sudah diketahui bersama, mencari nafkah dengan cara instan dan melanggar norma moral, agama, dan hukum adalah perbuatan dosa. Ada konsekuensi yang akan mereka terima nantinya," jelasnya.
Dalam hukum Islam, ditentukan larangan perdagangan orang untuk dilacurkan atau perdagangan pelacuran.
Ada ketentuan hukuman cambuk 100 kali bagi pezina laki-laki dan pezina perempuan yang terbukti melakukannya.
Sedangkan di hadis Rasulullah SAW ditentukan hukuman rajam bagi pezina laki-laki dan pezina perempuan yang sedang terikat dalam perkawinan.
Maka dari itu, menurut hukum Islam prostitusi adalah perbuatan zina.
Tapi, bagi perempuan yang menjadi korban pelacuran atau yang dipaksa untuk melakukan pelacuran, maka ia tidak akan dikenakan hukuman.
Jika di dalam hukum Indonesia, hal tersebut masuk dalam pidana human trafficking atau perdagangan manusia.
Menurut Tafsir, semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi juga semakin memudahkan praktik prostitusi berjalan di tengah masyarakat.
Bahkan yang lebih memprihatinkan, baik pembeli atau penjual ada yang masih duduk di bangku sekolah.
"Harusnya pemilik aplikasi media sosial bisa membatasi atau memfilter akun-akun yang dicurigai digunakan untuk prostitusi online. Jika tidak, pemerintah harus semakin ketat lagi pengawasannya. Karena belum lama ini terungkap masih ada prostitusi online yang dijalani oleh para artis," bebernya.
Gaya hidup juga menjadi pengaruh seorang perempuan maupun laki-laki, yang rela menjual diri mereka hanya untuk mendapatkan materi secara instan.
Maka faktor ekonomi tidak bisa menjadi alasan seseorang untuk terjun ke dalam prostitusi.
"Jika ada yang mengatakan karena alasan ekonomi, itu tidak sepenuhnya benar. Karena masih banyak pekerjaan halal dan berkah lainnya, yang bisa dia jalani. Tanpa harus menjual dirinya untuk dinikmati orang lain," pungkasnya. (tim)
Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul "Kisah Pengakuan PSK Online Semarang: Dari Ayam Kampus hingga Jadi Karyawati, Kini Coba Jualan Baju"