HARI POLWAN 2020

Hari Polwan 1 September 2020 - Sejarah Terbentuknya Polwan di Bukittinggi, 6 Wanita Ini Perintisnya

Nelly Pauna Situmorang, Mariana Saanin Mufti, Djasmaniar Husein, Rosmalina Pramono, Dahniar Sukoco dan Rosnalia Taher, adalah wanita perintis Polwan

Editor: Mairi Nandarson
DOKUMEN
Enam wanita perintis terbentuknya Polisi Wanita ( Polwan ) di Indonesia, yang diperingati setiap 1 September 

Keenam anggota tersebut merupakan remaja lulusan sekolah menengah yang telah diseleksi untuk menempuh pendidikan di Sekolah Polisi Negara (SPN) di Bukittinggi.

Sebelumnya, SPN hanya memiliki murid laki-laki, namun pemerintah RI memberikan mandat untuk membuka pendidikan kepolisian bagi perempuan.

Hal ini dilakukan untuk mengatasi berbagai guncangan yang melanda Indonesia akibat kembalinya Belanda ke negeri ini.

Persoalannya, tidak semua pengungsi perempuan bersedia diperiksa oleh petugas laki-laki, terutama secara fisik.

Kondisi ini cukup menyulitkan, pasalnya bisa saja Belanda mengirimkan wanita pribumi sebagai mata-mata.

Oleh karena itu, pemerintah membutuhkan polisi wanita untuk membantu mengatasi hal ini.

Adapun keenam polwan pertama yang terpilih tersebut adalah Mariana Saanin Mufti, Nelly Pauna Situmorang, Rosmalina Pramono, Dahniar Sukotjo, Djasmainar Husein, dan Rosnalia Taher, semuanya berdarah Minangkabau.

Mengutip jurnal Dharmasena terbitan Pusat Penerangan Pertahanan dan Keamanan (1995), keenam calon petugas wanita itu menjalani pelatihan sebagai inspektur polisi bersama dengan 44 peserta pria.

Mereka juga menjadi anggota Angkatan Bersenjata RI perempuan pertama.

Pada pengujung tahun 1948, terjadi Agresi Militer Belanda II.

Belanda berhasil menduduki Yogyakarta yang saat itu menjadi ibukota RI.

Akibatnya, para petinggi negara seperti Soekarno dan Moh Hatta, serta beberapa orang menteri diasingkan ke luar Jawa.

Ketika pusat pemerintahan di Yogyakarta limbung, Bukittinggi justru unjuk gigi.

Atas restu Presiden Soekarno, Bukittingi menjadi tempat didirikannya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Keenam polisi wanita itu turut ambil bagian dalam perjuangan mempertahankan pemerintahan darurat di Bukittinggi.

Pada awal 1949, kota Bukittinggi harus dikosongkan lantaran pasukan Belanda semakin mendekat.

Proses pengosongan itu akhirnya dilakukan dengan perlindungan basis pertahanan Kesatuan Brigade Mobil pimpinan Inspektur Polisi Amir Machmud.

Dalam pasukan ini, terdapat tiga orang polisi wanita, yaitu Rosmalina, Jasmaniar, dan Nelly Pauna.

(*)

Sumber: Tribun Batam
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved