Muslim dan China Jadi Target Rasisme Media, Fokus Digambarkan sebagai Teroris atau Orang Jahat

Muslim, China dan Aborigin adalah kelompok minoritas yang jadi target rasisme di Australia

Common Dreams
Muslim dan China Jadi Target Rasisme Media, Fokus Digambarkan sebagai Teroris atau Orang Jahat. Foto ilustrasi warga Muslim di Amerika Serikat 

Muslim dan China Jadi Target Rasisme Media, Fokus Digambarkan sebagai Teroris atau Orang Jahat

TRIBUNBATAM.ID - Muslim, China dan Aborigin adalah kelompok minoritas yang jadi target rasisme di Australia.

Tingginya angka rasisme di negara itu dianggap menggelisahkan dan telah menimbulkan dampak nyata bagi kelompok minoritas.

Baca juga: Tuai Kecaman dari Berbagai Negara, Begini Kejamnya Kebijakan Rasis Apartheid di Afrika Selatan

Baca juga: Pelajar Bhineka Tunggal Ika Polisikan Oknum Guru SMA Negeri Rasis, Simak Kronologi Kasusnya di Sini

Parahnya rasisme itu terjadi dan seakan didukung oleh media yang mayoritas bekerja dari kalangan kulit putih.

Temuan ini disampaikan penelitian dari yayasan nonprofit antirasisme di Australia, All Together Now.

Ilustrasi kepolisian telah menetapkan Tri Susanti tersangka dalam kasus dugaan rasisme di Asrama mahasiswa Papua, di Surabaya, Jawa Timur beberapa waktu lalu.
Ilustrasi kepolisian telah menetapkan Tri Susanti tersangka dalam kasus dugaan rasisme di Asrama mahasiswa Papua, di Surabaya, Jawa Timur beberapa waktu lalu. (TribunJatim.com/Luhur Pambudi)

Hasil penelitian menemukan bahwa warga minoritas jadi kelompok paling sering jadi target di media.

Saat Nayma Bilal, seorang Muslimah yang menggunakan niqab pergi ke sebuah pantai di Kota Sydney, seorang perempuan menghampirinya lalu berkata, "pergilah dari negara ini, kamu tidak pantas ada di sini".

Melansir ABC Indonesia pada Rabu (11/11/2020), ini adalah salah satu contoh perilaku rasis yang dialaminya di Australia, setelah pindah ke negara tersebut dari Bangladesh di usianya yang keempat.

Baca juga: Terkait Aksi Protes Rasisme George Floyd di Inggris, Boris Johnson Bentuk Lembaga Khusus

"Saya besar di Australia dan adik-adik saya lahir di sini.

Kami sama-sama orang Australia seperti kamu," kata Nayma dalam insiden tersebut.

Nayma mengatakan perempuan Muslim di Australia, termasuk yang menggunakan niqab, seringkali disalahpahami dan menjadi korban dari rasisme di media.

"Ini jadi yang paling membuat marah ketika media lebih fokus menggambarkan Muslim sebagai teroris atau orang yang jahat," ujar Nayma yang berusia 19 tahun.

Baca juga: Song Il Gook Ceritakan Anaknya Alami Rasisme, Dilempari Sebotol Air Kencing Saat di Prancis

"Kemudian secara tidak sadar mempengaruhi orang-orang saat berinteraksi dengan Muslim."

"Sangat mengecewakan karena kita tidak diberi kesempatan seperti komunitas lainnya untuk menyuarakan pendapat kita dan menunjukkan siapa kita dan agama yang kita anut."

Ilustrasi halaman muka website Donald Trump yang menghapuskan kampanye rasis terhadap Islam
Ilustrasi halaman muka website Donald Trump yang menghapuskan kampanye rasis terhadap Islam (DailyMail)

Jennifer McLean, manajer proyek "All Together Now" mengatakan "tingginya angka statistik yang menggelisahkan" ini telah menimbulkan dampak nyata bagi kelompok minoritas di Australia.

"Tidak hanya rasisme terus belanjut dalam komentar di media, tapi juga semakin menyesatkan atau berbahaya," ujar Jennifer.

Baca juga: PERDANA, Klub Liga Inggris Pakai Jersey Berlebel Anti-Rasisme, Bertuliskan Black Lives Matter

"All Together Now" mengamati tulisan-tulisan di media dengan melihat penggunaan kata-kata yang membuat stereotip, menebarkan ketakutan, pemikiran yang salah, tanpa konteks dan "mengaburkan gagasan antara kritik dengan sentimen rasis".

Artikel rasis ke warga keturunan China

Apa yang dialami oleh Nayma juga dirasakan para perempuan lain dari kelompok minoritas, seperti Yongyan Xia asal China, yang kini belajar biomedis di Melbourne.

Baca juga: Heboh Grup Komunitas Pelakor Indonesia di FB, Anggotanya Dipersilhkan Baku Hantam Asal Tak Rasis

Ketika pandemi Covid-19 terjadi di Australia awal tahun ini, dia berusaha untuk tidak membaca berita.

"Banyak artikel yang diunggah di Facebook menyebutnya 'virus China', 'jangan berhubungan dengan orang China karena Anda akan tertular'.

Buruk sekali," kata Yongyan.

"Kata-katanya terkadang menyesatkan.

Hanya menceritakannya di judul, tanpa menjelaskan secara rinci," ujarnya.

Laporan "All Together Now" merujuk pada sebuah artikel opini yang mengejek masakan China dan mengaitkannya dengan masakan kelelawar dan pasar tradisional Wuhan, atau menyebut Tahun Tikus di China dan menghubungkannya sosok tikus yang pengkhianat.

Ilustrasi reaksi Son Heung-min saat dijek dengan kata-kata rasis
Ilustrasi reaksi Son Heung-min saat dijek dengan kata-kata rasis (screengrab)

Selama pandemi virus corona, angka tindakan rasisme terhadap komunitas Asia di Australia meningkat dan Jennifer mengatakan hal ini diperburuk oleh pemberitaan beberapa artikel di media.

"Sayangnya, rasisme di media secara sistematis diperkuat oleh wacana publik dan politik," katanya.

"Dan ada banyak bentuk rasisme struktural, sistemik, yang terbentuk, serta dianggap menjadi normal dalam masyarakat Australia."

Baca juga: Sidang Parlemen Malaysia Berakhir Ricuh, Anggota DPR Pertanyakan Perkataan Rasis

Rasisme terselubung menjadi hal yang biasa Jennifer dari "All Together Now" juga mengamati adanya "peningkatan bentuk rasisme terselubung yang mungkin lebih sulit untuk dideteksi".

Di antaranya dalam bentuk "dog whistling" yang memicu ketakutan pada kelompok rasial tertentu tanpa merujuk kelompoknya secara langsung, seperti saat menggambarkan warga Muslim, serta bentuk rasisme yang mengabaikan pernah adanya penjajahan di benua Australia dan penghancuran budaya asli warga Aborigin dan Penduduk Pribumi Selat Torres.

Rona Glynn-McDonald, seorang perempuan dari suku Kaytetye dari Alice Springs dan pendiri organisasi "Common Ground", mengatakan ada, "beberapa rasisme terselubung dan tidak dapat dipahami kecuali jika kita orang Aborigin atau bukan orang kulit putih."

"Mikroagresi rasial dan nada halus rasis yang ada di banyak laporan berita dan wawancara atau cara orang-orang menggambarkannya menunjukkan hal itu," ujar Rona.

Baca juga: Protes Anti Rasisme Juga Terjadi di Inggris, PM Boris Johnson Peringatkan Soal Ekstremis

"Warga Australia Non-Pribumi sangat tidak paham dengan kehidupan, sejarah dan budaya kami, dan saya pikir itu tercermin dalam cara pelaporan media dan ini menjadi cerminan masih adanya perpecahan di Australia," lanjutnya.

Rona juga mengatakan warga Aborigin sebagai korban "merusak" persepsi masyarakat umum dan "berbahaya" bagi kaum muda dalam aspirasi mereka untuk masa depan.

Ilustrasi warga Muslim di luar negeri
Ilustrasi warga Muslim di luar negeri (Common Dreams)

Kurangnya keberagaman media Australia

Jennifer juga mengatakan media Australia terus "didominasi oleh orang kulit putih" dan gagal mencerminkan keragaman budaya dan bahasa di Australia.

Ada 89 persen dari artikel bernada rasis ditulis oleh orang-orang dari latar belakang Anglo-Celtic atau Eropa, menurut laporan "All Together Now".

Baca juga: Mengenal Sosok Ilhan Omar, Imigran Muslim yang Jadi Anggota DPR AS, Bagaimana Kiprahnya?

"Mulai dari jurnalis, presenter, produser hingga eksekutif di media, dan yang mengambil keputusan mungkin tidak menyadari jika mereka buta akan budaya," ujarnya.

"Beberapa rasisme mungkin berlanjut, meski mereka tidak berniat melakukannya."

Studi terbaru dari Media Diversity Australia juga menemukan presenter, komentator, dan reporter di televisi Australia kebanyakan berkulit putih.

Awal tahun ini, Media Entertainment and Arts Alliance (MEAA) mengeluarkan pedoman baru untuk melaporkan soal ras dan ujaran kebencian.

"Jelas ada hubungan antara kurangnya keberagaman dalam jurnalisme Australia dan bagaimana isu ras, agama dan budaya diliput di negara ini," kata juru bicara MEAA, Adam Portelli kepada ABC.

Baca juga: Pemilu Amerika, Janji Joe Biden Menang di 100 Hari Pertama, Bahas Muslim Masuk Negeri Paman Sam

"Kami percaya ruang redaksi harus berubah untuk lebih mencerminkan keberagaman audiens yang mereka layani."

"Upaya untuk meningkatkan keberagaman di media tidak boleh bersifat tokenistis dan hanya akan benar-benar efektif jika mereka yang berada dalam posisi pengambilan keputusan editorial juga mencerminkan kondisi warga yang beragam."

Terlepas dari gambaran negatif tentang perempuan Muslim dan diskusi apakah penggunaan cadar wajib atau tidak di kalangan umat Muslim sendiri, Nayma memilih untuk tetap memakainya.

Ilustrasi duta Besar Tiongkok membanggakan pedesaan yang indah sambil menonton klip genosida Muslim Uighur
Ilustrasi duta Besar Tiongkok membanggakan pedesaan yang indah sambil menonton klip genosida Muslim Uighur (BBC via Intisari Online)

"Saya merasa sangat tercerahkan ketika saya melihat perempuan Muslim ditampilkan di media dan menggunakan simbol-simbol yang melambangkan Islam di media, semakin nyaman dan kami merasa semakin tercerahkan dan diberdayakan," kata Nayma yang bercita-cita menjadi dokter ahli bedah.

"Orang-orang sekarang melihat saya karena keterampilan, kemampuan, dan pengetahuan saya."

"Saya merasa di saat pandemi Covid-19 dan semua orang harus memakai masker, mereka mengerti bahwa saya masih dapat berkomunikasi baik dengan orang lain.

Baca juga: Menlu Retno Marsudi Sebut 2 Miliar Umat Muslim Tersinggung atas Pernyataan Presiden Prancis

Sementara Rona mengatakan perlu adanya perubahan di media.

"Kaum muda tidak merasa terwakili di media.

Pengalaman hidup kami yang beragam tidak terwakili dalam apa yang menurut media layak diberitakan," kata Rona.

"Saya pikir pandangan kita mulai bergeser dan orang-orang muda memiliki cara pandang yang sangat berbeda tentang dunia, pemahaman tentang diri kita, dan tentang warga Aborigin, non-Pribumi atau orang kulit berwarna," tambahnya.

"Tapi, saya pikir media belum cukup menggambarkan perubahan itu," pungkasnya.

.

.

.

(*)

Baca berita lain di Google

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Muslim, China dan Aborigin adalah Kelompok Minoritas yang jadi Target Rasisme

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved