Muslim Digambarkan Teroris atau Orang Jahat, 'Virus China' Ikut Jadi Target Rasisme: Buruk Sekali !
Tingginya angka rasisme ke Muslim dan China di Australia dianggap menggelisahkan dan menimbulkan dampak nyata bagi kelompok minoritas Ngeri Kangguru
TRIBUNBATAM.id - Muslim Digambarkan Teroris atau Orang Jahat, 'Virus China' Ikut Jadi Targt Rasisme: Buruk Sekali !
Rasisme agama dan ras terjadi di banyak negara, tak terkecuali di negara maju.
Parahnya rasisme seakan "diukung" media yang akhirnya menimbulkan dampak negatif.
Kaum minoritas dianggap sebagai "pengganggu" yang seolah kehadiran mereka tak diharapkan di negara itu.
Di Australia, misalnya, Muslim, China dan suku Aborigin adalah kelompok minoritas.

Ketiganya jadi target rasisme begitu kental dan terasa di Australia.
Tingginya angka rasisme di negara itu dianggap menggelisahkan dan menimbulkan dampak nyata bagi kelompok minoritas.
Parahnya rasisme itu terjadi dan seakan didukung media yang mayoritas bekerja dari kalangan kulit putih.
Temuan ini disampaikan penelitian dari yayasan nonprofit antirasisme di Australia, All Together Now.
Baca juga: Aksi Rasisme Kembali Terjadi, Dua Masjid di Inggris Jadi Sasaran, Terdapat Coretan Umpatan
Baca juga: PERDANA, Klub Liga Inggris Pakai Jersey Berlebel Anti-Rasisme, Bertuliskan Black Lives Matter
Baca juga: Song Il Gook Ceritakan Anaknya Alami Rasisme, Dilempari Sebotol Air Kencing Saat di Prancis
Hasil penelitian menemukan bahwa warga minoritas jadi kelompok paling sering jadi target di media.
Saat Nayma Bilal, seorang Muslimah yang menggunakan niqab pergi ke sebuah pantai di Kota Sydney, seorang perempuan menghampirinya lalu berkata, "pergilah dari negara ini, kamu tidak pantas ada di sini".
Melansir ABC Indonesia pada Rabu (11/11/2020), ini adalah salah satu contoh perilaku rasis yang dialaminya di Australia, setelah pindah ke negara tersebut dari Bangladesh di usianya yang keempat.

"Saya besar di Australia dan adik-adik saya lahir di sini.
Kami sama-sama orang Australia seperti kamu," kata Nayma dalam insiden tersebut.
Nayma mengatakan perempuan Muslim di Australia, termasuk yang menggunakan niqab, seringkali disalahpahami dan menjadi korban dari rasisme di media.
Baca juga: Tersangka Baru Kasus Dugaan Rasisme Terhadap Mahasiswa Papua di Surabaya, Kapolda Jatim: Inisial SA
Baca juga: Ikut Demo George Floyd, Tim Medis Covid-19 di Amerika Serikat: Berjuang Lawan Virus Rasisme
"Ini jadi yang paling membuat marah ketika media lebih fokus menggambarkan Muslim sebagai teroris atau orang yang jahat," ujar Nayma yang berusia 19 tahun.
"Kemudian secara tidak sadar mempengaruhi orang-orang saat berinteraksi dengan Muslim."

"Sangat mengecewakan karena kita tidak diberi kesempatan seperti komunitas lainnya untuk menyuarakan pendapat kita dan menunjukkan siapa kita dan agama yang kita anut."
Jennifer McLean, manajer proyek "All Together Now" mengatakan "tingginya angka statistik yang menggelisahkan" ini telah menimbulkan dampak nyata bagi kelompok minoritas di Australia.
"Tidak hanya rasisme terus belanjut dalam komentar di media, tapi juga semakin menyesatkan atau berbahaya," ujar Jennifer.
Baca juga: Terkait Aksi Protes Rasisme George Floyd di Inggris, Boris Johnson Bentuk Lembaga Khusus
"All Together Now" mengamati tulisan-tulisan di media dengan melihat penggunaan kata-kata yang membuat stereotip, menebarkan ketakutan, pemikiran yang salah, tanpa konteks dan "mengaburkan gagasan antara kritik dengan sentimen rasis".
Artikel rasis
Apa yang dialami oleh Nayma juga dirasakan para perempuan lain dari kelompok minoritas, seperti Yongyan Xia asal China, yang kini belajar biomedis di Melbourne.
Ketika pandemi Covid-19 terjadi di Australia awal tahun ini, dia berusaha untuk tidak membaca berita.
"Banyak artikel yang diunggah di Facebook menyebutnya 'virus China', 'jangan berhubungan dengan orang China karena Anda akan tertular'.
Buruk sekali," kata Yongyan.

"Kata-katanya terkadang menyesatkan.
Hanya menceritakannya di judul, tanpa menjelaskan secara rinci," ujarnya.
Laporan "All Together Now" merujuk pada sebuah artikel opini yang mengejek masakan China dan mengaitkannya dengan masakan kelelawar dan pasar tradisional Wuhan, atau menyebut Tahun Tikus di China dan menghubungkannya sosok tikus yang pengkhianat.
Selama pandemi virus corona, angka tindakan rasisme terhadap komunitas Asia di Australia meningkat dan Jennifer mengatakan hal ini diperburuk oleh pemberitaan beberapa artikel di media.
Baca juga: Heboh Grup Komunitas Pelakor Indonesia di FB, Anggotanya Dipersilhkan Baku Hantam Asal Tak Rasis
"Sayangnya, rasisme di media secara sistematis diperkuat oleh wacana publik dan politik," katanya.
"Dan ada banyak bentuk rasisme struktural, sistemik, yang terbentuk, serta dianggap menjadi normal dalam masyarakat Australia."
Rasisme terselubung menjadi hal yang biasa Jennifer dari "All Together Now" juga mengamati adanya "peningkatan bentuk rasisme terselubung yang mungkin lebih sulit untuk dideteksi".

Di antaranya dalam bentuk "dog whistling" yang memicu ketakutan pada kelompok rasial tertentu tanpa merujuk kelompoknya secara langsung, seperti saat menggambarkan warga Muslim,
serta bentuk rasisme yang mengabaikan pernah adanya penjajahan di benua Australia dan penghancuran budaya asli warga Aborigin dan Penduduk Pribumi Selat Torres.
Rona Glynn-McDonald, seorang perempuan dari suku Kaytetye dari Alice Springs dan pendiri organisasi "Common Ground", mengatakan ada, "beberapa rasisme terselubung dan tidak dapat dipahami kecuali jika kita orang Aborigin atau bukan orang kulit putih."
Baca juga: Viral Pria Asia Tinju Bule Rasis di Amerika hingga Pingsan di Jalan, Diduga Asal Indonesia
"Mikroagresi rasial dan nada halus rasis yang ada di banyak laporan berita dan wawancara atau cara orang-orang menggambarkannya menunjukkan hal itu," ujar Rona.
"Warga Australia Non-Pribumi sangat tidak paham dengan kehidupan, sejarah dan budaya kami, dan saya pikir itu tercermin dalam cara pelaporan media dan ini menjadi cerminan masih adanya perpecahan di Australia," lanjutnya.
Rona juga mengatakan warga Aborigin sebagai korban "merusak" persepsi masyarakat umum dan "berbahaya" bagi kaum muda dalam aspirasi mereka untuk masa depan.

Jennifer juga mengatakan media Australia terus "didominasi oleh orang kulit putih" dan gagal mencerminkan keragaman budaya dan bahasa di Australia.
Ada 89 persen dari artikel bernada rasis ditulis oleh orang-orang dari latar belakang Anglo-Celtic atau Eropa, menurut laporan "All Together Now".
"Mulai dari jurnalis, presenter, produser hingga eksekutif di media, dan yang mengambil keputusan mungkin tidak menyadari jika mereka buta akan budaya," ujarnya.
Baca juga: Mahasiswa Indonesia di Amerika Terekam Berkelahi, Pukul KO Pria Rasis di Jalan San Diego California
"Beberapa rasisme mungkin berlanjut, meski mereka tidak berniat melakukannya."
Studi terbaru dari Media Diversity Australia juga menemukan presenter, komentator, dan reporter di televisi Australia kebanyakan berkulit putih.
Awal tahun ini, Media Entertainment and Arts Alliance (MEAA) mengeluarkan pedoman baru untuk melaporkan soal ras dan ujaran kebencian.
"Jelas ada hubungan antara kurangnya keberagaman dalam jurnalisme Australia dan bagaimana isu ras, agama dan budaya diliput di negara ini," kata juru bicara MEAA, Adam Portelli kepada ABC.
"Kami percaya ruang redaksi harus berubah untuk lebih mencerminkan keberagaman audiens yang mereka layani."

"Upaya untuk meningkatkan keberagaman di media tidak boleh bersifat tokenistis dan hanya akan benar-benar efektif jika mereka yang berada dalam posisi pengambilan keputusan editorial juga mencerminkan kondisi warga yang beragam."
Terlepas dari gambaran negatif tentang perempuan Muslim dan diskusi apakah penggunaan cadar wajib atau tidak di kalangan umat Muslim sendiri, Nayma memilih untuk tetap memakainya.
"Saya merasa sangat tercerahkan ketika saya melihat perempuan Muslim ditampilkan di media dan menggunakan simbol-simbol yang melambangkan Islam di media,
semakin nyaman dan kami merasa semakin tercerahkan dan diberdayakan," kata Nayma yang bercita-cita menjadi dokter ahli bedah.
Baca juga: Sebelum jadi Tersangka Rasisme, Tri Susanti Jelaskan Kronologi Aksi Massa di Surabaya
"Orang-orang sekarang melihat saya karena keterampilan, kemampuan, dan pengetahuan saya."
"Saya merasa di saat pandemi Covid-19 dan semua orang harus memakai masker, mereka mengerti bahwa saya masih dapat berkomunikasi baik dengan orang lain.
Sementara Rona mengatakan perlu adanya perubahan di media.
"Kaum muda tidak merasa terwakili di media.
Pengalaman hidup kami yang beragam tidak terwakili dalam apa yang menurut media layak diberitakan," kata Rona.

"Saya pikir pandangan kita mulai bergeser dan orang-orang muda memiliki cara pandang yang sangat berbeda tentang dunia, pemahaman tentang diri kita, dan tentang warga Aborigin, non-Pribumi atau orang kulit berwarna," tambahnya.
"Tapi, saya pikir media belum cukup menggambarkan perubahan itu," pungkasnya.
Baca juga: Bobby Jayanto Minta Maaf Terkait Kasus Rasis, Berat Badan Turun 5 Kg
Baca juga: Sebelum jadi Tersangka Rasisme, Tri Susanti Jelaskan Kronologi Aksi Massa di Surabaya
Baca juga: Cerita Irfan Bachdim Alami Rasis di Belanda Karena Berdarah Indonesia: Tua Nanti Saya Tetap di Sini
.
.
.
Baca berita lain di Google
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Muslim, China dan Aborigin adalah Kelompok Minoritas yang jadi Target Rasisme
(*)