Jadi Ancaman Global, Virus Nipah di China Berpotensi jadi Pandemi Baru, Gejala Mirip Flu
Virus ini langka dan disebarkan oleh kelelawar buah, yang dapat menyebabkan gejala mirip flu dan kerusakan otak.
TRIBUNBATAM.id - Direktur Eksekutif Access to Medicine Foundation, Jayasree K Iyer mengatakan virus nipah di China berpotensi menjadi pandemi selanjutnya setelah covid-19.
“ Virus Nipah adalah penyakit menular lain yang muncul dan menimbulkan kekhawatiran besar.
Nipah bisa merebak kapan saja. Pandemi berikutnya bisa jadi infeksi yang tahan terhadap obat,” ungkap The Guardian mengutip Jayasree K Iyer.
Wabah virus nipah berpotensi menjadi pandemi besar dengan perusahaan farmasi raksasa tidak siap karena saat ini masih fokus menangani Covid-19.
Virus ini langka dan disebarkan oleh kelelawar buah, yang dapat menyebabkan gejala mirip flu dan kerusakan otak.
Virus ini dapat menyebabkan ensefalitis atau radang otak, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Virus nipah di China dengan tingkat kematian mencapai 75 persen.
Baca juga: Muncul Ancaman Pandemi Baru di Asia datang dari Virus Nipah, Virus Apa Lagi Itu?
Baca juga: Sudah 23 Tahun Belum Ada Vaksin, Ini Gejala dan Penularan Virus Nipah yang Mematikan
Bagaimana manusia bisa terpapar?
Manusia dapat terpapar virus Nipah melalui kontak dengan kelelawar.
"Setiap interaksi manusia dengan kelelawar dapat dianggap sebagai interaksi berisiko tinggi," menurut Veasna Duong, kepala unit virologi di laboratorium penelitian Institut Pasteur di Phnom Penh dan kolega Wacharapluesadee.
"Paparan seperti ini dapat menyebabkan virus bermutasi, yang dapat menyebabkan pandemi," kata Duong.

Misalnya di pasar Battambang, kota di Sungai Sangkae di barat laut Kamboja.
Ribuan kelelawar buah hinggap di pepohonan sekitar pasar, berak, dan kencing pada apapun yang lewat di bawahnya.
Bila diamati dari dekat, atap kios-kios di pasar penuh dengan tahi kelelawar.
"Manusia dan anjing liar berjalan di bawah sarang-sarang, terpapar urine kelelawar setiap hari," kata Duong.
Kontak manusia dengan kelelawar juga ditemukan di berbagai tempat lainnya.
"Kami mengamati (kelelawar buah) di sini dan di Thailand, di pasar-pasar, tempat ibadah, sekolah, dan lokasi turis seperti Angkor Wat - ada sarang besar kelelawar di sana," ujarnya.
Angkor Wat biasa dikunjungi 2,6 juta orang setiap tahun; berarti 2,6 juta kesempatan bagi virus Nipah untuk melompat dari kelelawar ke manusia setiap tahun, hanya di satu lokasi.
Dari 2013 hingga 2016, Duong dan timnya meluncurkan program pemantauan GPS untuk memahami kelelawar buah dan virus Nipah, dan membandingkan aktivitas kelelawar Kamboja ke kelelawar lain di wilayah-wilayah 'hotspot' lainnya.
Di antara wilayah-wilayah ini adalah Bangladesh dan India.
Kedua negara pernah mengalami wabah virus Nipah, yang kemungkinan besar terkait dengan kebiasaan meminum jus kurma.
Pada malam hari, kelelawar yang terinfeksi terbang ke perkebunan kurma dan menghisap sari buahnya saat keluar dari pohon.
Saat mereka makan, mereka biasanya kencing di pot pengumpulan.
Warga setempat yang tidak tahu apa-apa membeli jus dari pedagang keesokan harinya, meminumnya dan terinfeksi oleh virus Nipah.
Dalam 11 wabah di Bangladesh dari 2001 hingga 2011, 196 orang dikonfirmasi terinfeksi Nipah dan150 orang di antaranya meninggal dunia.
Jus kurma juga populer di Kamboja, tempat Duong dan timnya menemukan bahwa kelelawar buah di Kamboja terbang jauh - sampai 100 kilometer setiap malam - untuk menemukan buah.
Ini berarti masyarakat di wilayah ini perlu menyadari bahwa mereka tidak hanya dekat dengan kelelawar tapi juga mungkin mengonsumsi produk yang terkontaminasi olehnya.
Duong dan timnya juga mengidentifikasi situasi berisiko tinggi lainnya.
Tahi kelelawar (disebut guano) populer sebagai bahan pupuk di Kamboja dan Thailand, dan di wilayah pedesaan yang minim lapangan pekerjaan, tahi kelelawar bisa jadi cara mencari nafkah.
Duong mengidentifikasi banyak lokasi tempat warga setempat secara aktif mendorong kelelawar buah, yang juga dikenal sebagai rubah terbang, untuk berak di dekat rumah supaya mereka dapat mengumpulkan dan menjual guano.
Namun banyak pengumpul guano tidak memahami risiko yang mereka hadapi dalam melakukan pekerjaan itu.
"Enam puluh persen orang yang kami wawancarai tidak tahu bahwa kelelawar dapat menularkan penyakit. Pengetahuan mereka masih kurang," kata Duong.
Ia percaya bahwa edukasi warga setempat akan ancaman yang dibawa kelelawar perlu dilakukan.
Tapi barangkali tidak semudah itu.
Menghindari kontak dengan kelelawar barangkali gampang dilakukan di masa lalu dalam sejarah manusia, namun seiring populasi manusia bertambah, kita mengubah planet ini dan menghancurkan habitat alam untuk memenuhi kebutuhan akan sumber daya.
Perbuatan ini mempercepat penyebaran penyakit.
"Penyebaran patogen (zoonotik) ini dan risiko transmisi bertambah cepat dengan... perubahan penggunaan lahan seperti penggundulan hutan, urbanisasi, dan intensifikasi pertanian," tulis Rebekah J White dan Orly Razgour dalam telaah tentang penyakit zoonotik emerging yang diterbitkan Universitas Exeter pada 2020.
Sebanyak 60 persen populasi dunia tinggal di Asia dan wilayah Pasifik, sementara urbanisasi terus berlangsung dengan cepat.
Menurut Bank Dunia, hampir 200 juta orang pindah ke wilayah perkotaan di Asia Timur antara tahun 2000 dan 2010.
(*)
Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS
Sumber: Kompas.com