Bukan Sultan Hamengkubuwono IX, Apalagi Soeharto, Siapa Pemrakarsa Serangan Umum 1 Maret 1949?
Sejarah yang selalu diperingati dengan nama Serangan Umum 1 Maret 1949, jatuh di hari ini Senin untuk kembali diingat.
Adapun pemilihan Yogyakarta sebagai lokasi penyerangan tersebut dilandasi oleh beberapa alasan.
Pertama, Yogyakarta merupakan Ibu Kota Indonesia pada saat itu, sehingga jika dapat merebutnya dari tangan Belanda maka akan menghasilkan pengaruh besar dalam membangkitkan semangat negeri.
Semangat perjuangan Indonesia yang tengah terpuruk akibat kejadian-kejadian sebelumnya memang perlu dibangkitkan dengan cara merebut ibu kota.
Selain itu, di Yogyakarta juga terdapat banyak wartawan asing.
Baca juga: Sah, Mobil Baru Bebas Pajak Berlaku Mulai 1 Maret 2021
Baca juga: Ingat ya, Sengaja Tak Lapor SPT Bisa Dipenjara. Batas Akhir Pelaporan SPT Tahunan 31 Maret 2021
Hal itu dinilai penting, sebab jika serangan tersebut berhasil maka media asing akan meliput dan berita akan kuatnya pasukan militer Indonesia dapat tersebar dengan cepat ke luar negeri.
Banyak wartawan asing dan anggota UNCL yang tinggal di hotel merdeka pada saat itu sehingga Yogyakarta menjadi tempat terbaik untuk melakukan penyerangan.
Alasan lain, Yogyakarta yang saat itu berada di wilayah divisi 3 membuat serangan umum tersebut tidak perlu persetujuan dari panglima besar.
Pasukan juga sudah terbiasa dan menguasai lapangan, sehingga kemungkinan serangan tersebut berhasil menjadi lebih besar.
Selain itu, militer Belanda juga tidak akan menyangka bahwa TNI akan menyerang langsung ibu kota pada saat itu.
Dengan ditahannya para petinggi bangsa membuat Belanda menganggap Indonesia tidak akan berani melangsungkan serangan.
Bukan Soeharto atau Hamengkubuwono, Ini Sosok Pemrakarsa SU 1 Maret 1949
Setiap peristiwa, apalagi berkait dengan peristiwa perjuangan kemerdekaan, yang tidak terdokumentasi maka ia tidak atau belum disebut sebagai sejarah.
Demikianlah aturan resmi untuk menentukan otentisitas suatu peristiwa sehingga benar-benar disebut sebagai fakta sejarah.
Maka, setiap dokumentasi peristiwa, entah itu dalam bentuk tulisan, monumen, candi, prasasti, entah yang lainnya, mutlak dihadirkan untuk melegitimasi kebenaran peristiwa itu sendiri.
Benarkah selalu demikian?
Sejarah yang banyak mendasarkan diri pada bukti-bukti lisan, terutama dari pihak pelaku sejarah yang terlibat di dalamnya?