Cerita Pramugari Garuda Indonesia Banting Setir Jual Tahu setelah Putus Kontrak: Jangan Menyerah
Penerbangan sektor yang paling terpukul akibat pandemi Covid-19, mengalami penurunan jumlah penumpang rata-rata 50% dari tahun sebelumnya.
Sang manajer mengumumkan, para pelayan penumpang pesawat di ruangan tersebut diputus kontrak. Alasannya jumlah penerbangan menurun karena pandemi global.
"Ketika bapak itu keluar, kita nggak ada yang bisa ngomong apa-apa. Setelah bapak itu keluar, kita baru nangis, shock," kata Martha Putri mengingat kejadian setahun lalu.
Sesuai kontrak kerja, ia semestinya bisa diangkat menjadi karyawan tetap pada bulan berikutnya.
Beberapa hari sebelum pengumuman pemutusan kontrak kerja, Martha Putri masih rutin mengirim surat elektronik kepada atasannya terkait dengan penilaian kinerjanya sebagai "nilai tambah untuk diangkat pegawai di bulan April".
"Saya kirim semua penilaian saya, nggak ada artinya. Karena chief saya sudah tahu kita semua nggak mungkin ada di Garuda lagi. Jadi buat apa kirim itu lagi?" kata Martha Putri.
Momen terakhir berstatus sebagai pramugari Garuda Indonesia ini sempat diabadikan Josephine Wulandari, teman satu angkatan Martha Putri.
Ia mengunggah kembali salah satu Insta Story temannya yang menunjukkan foto kru satu angkatan yang tersenyum. Dia melabeli foto itu, "smile fake as usual".
"Cuma dikasih surat yang menyatakan kalau kontrak kita tidak diperpanjang. Dari situ kita heart broken banget," kata Jojo—sapaan Josephine.

Jojo juga bercerita begitu sulit untuk mencapai karier sebagai pramugari—profesi impian sejak kecil. Ia sudah dua kali melamar tapi gagal. Sampai akhirnya ia diterima saat lamaran ketiga pada akhir 2017 lalu. Tapi jenjang kariernya kandas karena pandemi.
Selama dua tahun bekerja, Jojo mengutarakan keseruan menjadi pramugari, "Banyak, tapi lebih ketemu orang, belajar banyak hal, ketemu teman-teman baru, bisa ke destinasi baru yang aku belum pernah jalanin."
Jojo sempat jatuh sakit setelah menerima pengumuman dari perusahaannya itu karena terlalu banyak pikiran. Selama berbulan-bulan yang ia lakukan adalah "Bengong, nangis, makan, tidur."
Sesekali ia juga memasukkan lamaran kerja ke sejumlah perusahaan, meski belum ada jawaban yang diharapkan. Sampai akhirnya, "Sudah deh terserah dari mana saja, asal selama itu halal, apa pun saya kerjain. Walaupun cuma antar jemput, jadi sopir nggak apa-apa," katanya.

Selama tafakur di masa pandemi, ia pun belajar tentang arti persahabatan. "Kelihatan mana orang yang mau temanan di saat kamu masih ada uang, mana teman-teman yang benar-benar sama kamu di saat kamu nggak punya apa-apa."
Tiga bulan pertama setelah putus kontrak juga menjadi masa-masa sulit Martha Putri. "Sempat nggak bisa move on. Sempat seperti masih sedih-sedih, masih nggak menyangka, masih berharap dipanggil lagi sama Garuda, itu kurang lebih tiga bulan," katanya.
Bulan-bulan yang dihadapi dengan "lemas dan tak bersemangat" ini akhirnya terpecahkan setelah salah seorang teman Martha mengajak untuk membuka usaha tahu crispy di kawasan Cibinong, Jawa Barat.