Mantan Ketua PN Tanjungpinang Tolak Tawaran Uang Dalam Tas, Eduard Arfa: Heboh, Kasusnya di Bintan
Mantan Ketua PN tanjungpinang Eduard Arfa tak pernah melupakan saat seorang pengacara mendatanginya dan memberikan tas berisi uang tunai
TRIBUNBATAM.id - Mantan Ketua Pengadilan Negeri Tanjungpinang Eduard Arfa tak pernah melupakan saat seorang pengacara mendatanginya dan memberikan tas yang ternyata penuh berisi uang.
Peristiwa itu terjadi saat ia menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri (PN) Tanjungpinang, Kepri.
Eduard masih mengingat betul, kasus ini terjadi di Bintan dan pengacara yang membawakannya uang satu tas itu hingga sekarang masih hidup dan beraktivitas.
Baca juga: Soal Korupsi Izin Tambang Kepri, Pengacara Azman Taufik Protes Vonis Hakim, Mengapa?
"Ya pernah itu, pengacaranya sampai sekarang masih hidup. Saya dikasi uang satu tas. Sudah dilihatkan ke saya. Saya suruh bawa pulang dan usir orangnya. Heboh waktu itu. Kasusnya di Bintan," kenang Eduard Arfa.

Eduard Arfa (80) dulunya adalah seorang hakim yang setelah pensiun beralih peran jadi seorang advokat.
Saat masih aktif sebgai hakim, Eduard pernah bertugas di banyak tempat.
Di masa mudanya, Eduard pernah menjadi Ketua Pengadilan Negeri (PN) Tanjungpinang.
Pria kelahiran 30 September 1941 itu, menjabat sebagai Ketua PN Tanjungpinang mulai 1998 sampai 2001.
Sebelumnya, ia pernah menjadi Wakil Ketua PN Batam pertama pada tahun 1990.
"Saya angkatan hakim pertama lulusan 1970 dari sarjana hukum.
Baca juga: Putusan Sidang Praperadilan Habib Rizieq Shihab, Hakim: Gugur
Soalnya dulu hakim harus dari lulusan hakim khusus," ucapnya, Jumat (19/3/2021).
Kiprahnya sebagai hakim dimulai saat ia ditugaskan pertama kali ke Manado selama 7 tahun.
Setelah itu pindah tugas ke Kota Palu selama 3 tahun.
"Jadi dari Palu, pindah tugas lagi balik ke Manado kembali selama 2 tahunlah.
Barulah masuk tugas di Tanjungpinang pada tahun 1980 sampai 1987," ucapnya.
Setelah itu, pada 1990 kembali pindah tugas di Kalimantan Barat atau tepatnya di Kota Pontianak.

"Saya tidak lama tugas di Pontianak. Soalnya langsung pindahkan lagi ke Batam. Saya jadi Wakil PN pertama dibuka," ucapnya.
"Pada tahun 1996, barulah mendapat penempatan tugas ke Tanjungpinang.
Saya diangkat menjadi Wakil PN dulu, baru naik jadi Ketua PN Tanjungpinang," ucapnya.
Ditanya berapa gaji saat pertama menjadi hakim? "Kalau pertama gaji saya Rp 2.400 per bulan.
Saat tugas di Kota Palu, gaji saya Rp 1.500 per bulan," jawab kakek yang memiliki 2 cucu dari anak semata wayangnya.
Baca juga: Resmi Ditahan Akibat Kasus Tambang Bauksit, Inilah Profil dan Karier Amjon, Mantan Kadis ESDM Kepri
Ditanyakan bagaimana suka duka selama menjadi hakim?
"Kalau suka duka banyaklah. Pertama kita dapat menjalankan amanah undang-undang. Yang penting jadi hakim harus gunakan hati nuraninya. Kalau orang suka atau tidak suka biasa. Kita jalani sesuai prosedur saja," jawabnya.
Bahkan ceritanya, pernah ada satu kasus di Bintan saat dirinya menjabat Ketua PN Tanjungpinang.

Seorang oknum pengacara menemuinya dan memberikan sejumlah uang yang diletakkan di dalam sebuah tas.
"Ya pernah itu, pengacaranya sampai sekarang masih hidup. Saya dikasi uang satu tas. Sudah dilihatkan ke saya. Saya suruh bawa pulang dan usir orangnya. Heboh waktu itu. Kasusnya di Bintan," ucapnya.
Ditanyakan kembali, mengapa setelah pensiun menjadi hakim tetap menjalankan aktivitas menjadi seorang pengacara?
"Bapak ini asal-usul keluarganya seorang petani karet, dan sudah bekerja itu sejak kecil. Jadi sebelum napas habis kalau tidak bekerja terasa badan sakit-sakitan. Selain jadi kuasa hukum ini. Saya juga keseharian urusin kebun, tanam-tanam. Intinya tetap ada yang dikerjakan," ujarnya.
Baca juga: Jenderal Polisi Goyang TikTok Seusai Divonis Vonis 4 Tahun oleh Hakim
Lebih lanjut, aktivitas Eduard saat ini yakni memperjuangkan kliennya Azman Taufik yang telah divonis mejelis hakim 9 tahun penjara atas kasus korupsi Izin Usaha Pertambangan-Operasi Produksi (IUP-OP) Tambang Bauksit yang ditangani oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kepri.
Azman Taufik ialah mantan Kepala PTSP Pemprov Kepri.
Eduard memprotes putusan hakim.
Sebab, ia tetap pada amar putusan yang telah dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim, Guntur Kurniawan dengan vonis 6 tahun penjara dan denda Rp 400 juta atau subsider 4 bulan.
"Semua yang hadir dalam sidang terbuka itu dengar, bahwa amar putusan yang dibacakan oleh Ketua Hakim 6 tahun. Kenapa setelah sidang selesai 9 tahun penjara?" ujarnya protes.
Eduard sangat menyesalkan hal tersebut.
"Ingat dan pahami, bahwa putusan yang sah itu saat sidang berlangsung. Bukan setelah sidang baru disampaikan 9 tahun," sebutnya mengkritik.
Kritikan itu didasari Eduard pada pasal 195 KUHAP.
Disebutkannya, bahwa pasal tersebut berbunyi, semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.
"Itu yang saya protes. Jelas dalam sidang diucapkan 6 tahun. Kita ada rekamannya. Kawan-kawan media pun dengarkan itu kan," katanya.
* Berita tentang Korupsi Tambang Bauksit
* Berita tentang Mantan Hakim
* Berita tentang Kasus Suap
.
.
.
Baca berita menarik TRIBUNBATAM.id lainnya di Google
(TRIBUNBATAM.id / Endrakaputra)