HUMAN INTEREST

Kisah Agusri Nelayan Tradisional Asal Natuna Bersaing dengan Kapal Ikan Asing di Laut

Agusri cukup terganggu dengan aktivitas kapal ikan asing yang mencari ikan di perairan Natuna. Ia berharap pemerintah bisa lebih tegas

Editor: Dewi Haryati
tribunbatam.id/Muhammad Ilham
Agusri (44) salah seorang nelayan Natuna, merasa terganggu dan dirugikan adanya kapal ikan asing (KIA) yang beroperasi di wilayah perairan Natuna Indonesia. 

NATUNA, TRIBUNBATAM.id - Namanya Daeng Agusri. Ia termasuk satu di antara warga Natuna yang bertahan hidup dengan menjadi nelayan untuk menghidupi keluarganya.

Pekerjaan sebagai nelayan ini sudah digeluti pria kelahiran Agustus 1976 itu sejak ia masih berusia 13 tahun.

"Saya jadi nelayan sudah lama bang, mulai aktif sejak tahun 1989," tutur Agusri kepada Tribunbatam.id, di kediamannya, Ranai Kota, Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Kamis (25/3/2021).

Menjadi seorang nelayan bukanlah pekerjaan yang mudah bagi Agusri. Pasalnya lokasi ia menangkap ikan cukup jauh dari bibir pantai.

"Tempat kerja kita jauh, sekitar 100 sampai 160 mil dari bibir pantai," ucapnya.

Baca juga: Perempuan Batak Taklukkan Irlandia, Kisah Milka Manurung dari Tapanuli Berjuang di Luar Negeri

Baca juga: Kisah Asep Fals Asal Lingga Berkreasi lewat Konten Video hingga Ciptakan Lagu Corona

Biasanya Agusri pergi menangkap ikan menggunakan kapal berukuran sekira di bawah 5 Gross Tonnage (GT). Agusri berangkat bersama dua temannya.

"Sekali turun ke laut akan memakan waktu 7 sampai 10 hari. Biasanya waktu yang kita tempuh untuk sampai ke lokasi tangkap ikan akan memakan waktu 2 hari 2 malam.

Jika dihitung-hitung berarti kita hanya bisa bekerja selam 6 hari dan 4 harinya kita gunakan untuk perjalanan pulang dan pergi," jelasnya.

Agusri bercerita banyak hal tentang pekerjaannya itu. Tak jarang setelah mereka pergi untuk menangkap ikan, mereka harus kembali ke darat sebelum sempat menangkap ikan. Itu karena faktor cuaca di laut.

"Terkadang, kalau cuaca tidak mendukung kita harus kembali. Pasalnya ombak di laut lepas itu sangat besar dan tidak memungkinkan untuk kita bekerja, apalagi musim Utara," tuturnya.

Diketahui pula, Agusri bersama kedua temannya menangkap ikan masih menggunakan alat tradisional seperti pancingan manual dengan tangan dan juga pancingan ulur atau rawai. Sehingga hasil tangkapan pun tidak begitu maksimal.

"Kalau hasil tangkapan lumayanlah, tapi tetap saja tidak sebanyak yang bisa ditangkap nelayan asing, karena kita hanya menggunakan alat tradisional," ujarnya.

Biasanya ketika mereka kembali dari laut akan membawa 1 ton lebih ikan. Adapun jenis-jenis ikan yang biasa ditangkap seperti ikan tongkol, ikan tenggiri, ikan kakap merah, krisi bali, dan ikan sonok atau napoleon.

"Dari berbagai jenis ikan itu, yang paling banyak kita dapat itu ikan tongkol, sedangkan yang lainnya paling banyak 300 kilogram.

Tapi sayangnya justru ikan tongkol yang paling murah. Ikan tongkol Rp 14 sampai Rp 20 ribu, tenggiri Rp 40 sampai 60 ribu, krisi bali Rp 45 sampai 70 ribu, kakap merah Rp 45 ribu dan sonok Rp 150 ribu sampai Rp 300 ribu," kata Agusri.

Dari hasil tangkapannya itu akan dibagi empat. Tiga bagian untuk nelayan, dan satu bagian untuk pemilik kapal.

"Kalau penghasilan rata-rata, biasanya kami dapat Rp 2 juta sampai Rp 3 juta hasil dari turun melaut. Kalau tidak ada kendala. Kadang kalau cuaca tidak mendukung kita juga tekor," ujarnya.

Agusri mengatakan, ketika mereka turun ke laut untuk menangkap ikan, tidak jarang bersaing dengan kapal ikan asing (KIA), dan jarak antara kapal mereka dengan KIA itu tidak terlalu jauh.

"Kami aktif bekerja itu siang hari bang, dan malam kita istirahat. Tapi di malam hari kami tidak bisa tidur nyenyak, karena khawatir takut kapal kami ditabrak dengan KIA itu.

Meskipun selama ini belum ada kejadian, tapi pernah sewaktu kita labuh jangkar KIA itu datang seakan menabrak. Kami takutkan kapten KIA itu tidur atau apa, jadi ketika ada KIA di dekat kami pada malam hari, kami harus pindah labuh jangkarnya dan menjauh dari kapal mereka," tutur Agusri.

Dengan hadirnya KIA yang sering dijumpai para nelayan masyarakat Natuna di laut, Agusri cukup terganggu dan merasa ikan-ikan yang harusnya menjadi tangkapan mereka justru diambil KIA.

"Mereka itukan pakai jaring pukat harimau dan tentunya dengan alat canggih, otomatis hasil tangkapannya pasti lebih banyak ketimbang kami yang hanya menggunakan alat pancing manual dan rawai.

Kita kan tahu kalau pukat harimau itu akan mengangkut ikan yang sekecil telunjuk hingga paling besar. Jelas dengan cara yang mereka gunakan di perairan Indonesia akan merusak ekosistem laut kita," ujarnya.

Sementara itu, terkait adanya KIA yang beraktivitas di perairan Indonesia, Pemerintah telah melakukan beberapa upaya seperti menahan dan melakukan pemusnahan kapal. Namun upaya tersebut tidak begitu efektif. Pasalnya masih saja ada KIA yang beroperasi di perairan Indonesia.

Agusri berharap kepada pemerintah untuk bertindak lebih tegas terhadap KIA yang masuk ke wilayah perairan Indonesia.

"Kita berharap kepada pemerintah untuk lebih tegas lagilah agar kapal ikan asing itu tidak masuk ke wilayah Indonesia ini, dan tidak menggangu kita," harap Agusri.

(Tribunbatam.id/Muhammad Ilham)

Baca juga Berita Tribun Batam lainnya di Google

Berita tentang Natuna

Sumber: Tribun Batam
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved