HUMAN INTEREST
KISAH Iyan, Buruh Pemecah Batu di Anambas, Terbelit Hutang hingga Ditipu Teman Sendiri
Iyan terpaksa meninggalkan kampung halaman di Cianjur dan merantau ke Anambas setelah terbelit hutang hingga memaksanya menjadi pemecah batu.
Penulis: Novenri Halomoan Simanjuntak |
Jelas saja, dengan waktu sebulan ia telah berhasil melunasi hutang pupuknya di kampung.
Namun nahas, seiring waktu, lagi-lagi Iyan kemalangan.
Upah yang ia terima sebagai buruh pemecah batu tak sesuai dari perhitungan awal diberikan oleh temannya sendiri.
"Saya tahu juga lah hitungannya, seharusnya saat itu saya terima Rp 5,5 juta. Tapi malah diberi Rp 4 juta. Jadi dari pada ribut dengan teman, saya nggak mau lah, lebih baik keluar dan cari kerjaan serabutan lain. Alhamdulillah dapat kerjaan di Batu Tambun, Palmatak, Subi hingga panjat cengkeh di Air Nangak," ucapnya, Rabu (13/4/2022).
Tak sampai di situ, keberuntungan mulai berpihak.
Berkat ajakan dari seorang toke pengepul batu di Anambas, Ia kembali melakoni pekerjaannya menjadi pemecah batu hingga sekarang.
Diungkapkannya, dari satu kubik batu yang dikumpulkannya ia diberi upah sebesar Rp 150 ribu, dengan begitu ia pun kerja ekstra mengumpulkan hingga 3 kubik dalam sehari jika cuaca cerah.
"Kalau cuaca hujan, gak dapat kerja paling istirahat di pondok aja. Dan kalau badan capek paling-paling hanya dapat satu kubik. Gak mampu juga, maklum badan udah gak muda," jelasnya Iyan dengan gelak tawa.
Iyan menjelaskan, teknik pecah batu yang dilakukannya dengan cara dibakar oleh api hingga berjam-jam.
Teknik tradisional itu menurutnya lebih efektif mengurangi beban kerjanya.
"Tidak ada trik khusus, kalau batunya mudah pecah paling hanya sejam. Tapi kalau agak keras butuh waktu 3 sampai 4 jam. Lalu dibajik dengan pahat dan pecahannya dikumpulkan per kubik," ungkapnya.
Selama mengadu nasib di Anambas, Iyan mengaku tak pernah lama menganggur.
Peluang kerja dari permintaan sejumlah rekanan cukup menjanjikan meskipun sebagai buruh pemecah batu.
"Kalau dari satu borongan selesai, biasa ada aja yang nyari buat kerja pecah batu lagi. Makanya, sekarang dua anak saya datang dari Cianjur kesini untuk membantu. Maklum lah biar mereka tahu gimana sulitnya kerja jadi tukang pecah batu," terang Iyan sembari menata letak duduknya di pondok.
Meski perekonomian hidup yang serba pas-pasan, Iyan pun berhasil menunaikan pendidikan anak sulungnya ke tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) pesantren.