KISRUH REMPANG

Warga Rempang Batam Curhat ke DPR RI Hingga Presiden Jokowi

Perwakilan warga Rempang Batam sebelumnya mengadu ke DPR RI hingga meminta bantuan Presiden Jokowi sebelum terjadi bentrok, Kamis.

TribunBatam.id/Istimewa
Anggota Fraksi PKB DPR RI menerima keluhan warga dari kampung tua Pulau Rempang di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (20/6/2023). 

TRIBUNBATAM.id - Perwakilan warga Pulau Rempang mendatangi gedung DPR RI.

Kedatangan perwakilan warga Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepri itu diterima Fraksi PKB DPR RI

Pertemuan perwakilan warga Pulau Rempang dengan wakil rakyat di Senayan pada Selasa (20/6) ini, terjadi sebelum ada bentrok antara warga dengan tim terpadu, Kamis (7/9/2023).

Rusli Ahmad sebagai perwakilan warga terancam dengan rencana relokasi warga oleh pemerintah.

Rencana relokasi itu terkait pembangunan Rempang Eco City.

Mereka cemas jika proyek itu berdampak pada relokasi di tanah kelahiran mereka.

Baca juga: JAWABAN Kepala BP Batam Soal Relokasi Warga Rempang dari Wilayah Rempang Eco City

Ia berharap, hak-hak sebagai warga atas tanah bisa dipenuhi.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari PKB, Yanuar Prihatin dan Anggota Fraksi PKB Ratna Juwita menampung aspirasi mereka di ruang Fraksi PKB, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

"Kami merasa terancam dengan rencana relokasi warga untuk kepentingan pengembangan industri dari pihak swasta. Kami berharap Fraksi PKB bisa membantu kami dalam memperjuangkan hak-hak kami atas tanah maupun hak untuk hidup dengan layak di tanah kelahiran kami," ucapnya.

Ia mengungkapkan, relokasi warga kampung adat tersebut bisa berikan dampak negatif.

Seperti hilangnya pekerjaan ribuan kepala keluarga hingga potensi konflik horizontal di lokasi baru.

"Kami menyayangkan sikap pemerintah kota Batam yang seolah lebih berpihak kepada kepentingan swasta daripada kami sebagai warga mereka," katanya.

Baca juga: Proyek Pengembangan Pulau Rempang Masuk Daftar Program Strategis Nasional

Rusli mengatakan, pihaknya tak menghalangi pengembangan industri.

Tapi ia meminta untuk pihak swasta mengelola tanah yang bukan tanah adat.

"Kami tidak menghalangi rencana pengembangan industri, toh kebutuhan lahan kami dari 16 kampung adat kami hanya sekitar 1.000 hektare. Padahal pihak swasta mendapatkan izin mengarap lahan hingga 17.000 hektare. Kembangkan saja industri di 16.000 hektare di luar lahan kami," katanya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved