REMPANG ECO CITY

Diskusi Publik di Unrika Soal Proyek Rempang dari Perspektif Hukum, Sosial, dan Ekonomi

Diskusi publik bertajuk "Menyorot Proyek Rempang Eco City dari Perspektif Hukum, Sosial, dan Ekonomi" digelar pada Kamis (8/5/2025). 

Penulis: Ucik Suwaibah | Editor: Eko Setiawan
Ucik Suwaibah/Tribun Batam
Diskusi publik bertajuk "Menyorot Proyek Rempang Eco City dari Perspektif Hukum, Sosial, dan Ekonomi" digelar di Aula Pascasarjana UNRIKA, pada Kamis (8/5/2025).  

TRIBUNBATAM.id, BATAM - Diskusi publik bertajuk "Menyorot Proyek Rempang Eco City dari Perspektif Hukum, Sosial, dan Ekonomi" digelar pada Kamis (8/5/2025). 

Kegiatan ini diselenggarakan Pascasarjana Universitas Riau Kepulauan (Unrika) Kota Batam bersama Lingkar Akademisi Peduli Pembangunan Batam di Gedung Pascasarjana Unrika.

Acara dimulai pukul 08.30 WIB hingga selesai, dengan menghadirkan sejumlah narasumber dari berbagai bidang keahlian.

Diskusi ini dimoderatori oleh Dr. Suyono Saputro, dosen dari Universitas Internasional Batam (UIB).

Kegiatan ini menjadi wadah untuk memberikan pandangan terhadap proyek strategis nasional Rempang Eco City yang menuai beragam respon dari masyarakat.

Khususnya terkait isu relokasi warga, legalitas lahan, serta potensi dampaknya terhadap ekonomi lokal.

Hadir dalam acara Direktur Pascasarjana Unrika, Dr. Ervin Nora Susanti, dan juga sejumlah tokoh masyarakat, hukum, warga Rempang dan mahasiswa.

Ketua Ombudsman RI Perwakilan Kepri, Langgat Siadari, dan dosen Hukum Tata Negara Universitas Riau Kepulauan (Unrika), Emy Hajar Abra menjadi pembicara dalam diskusi ini.

Diskusi berlangsung dengan mengangkat isu keterlibatan masyarakat, pendekatan pembangunan, serta status hukum proyek dalam kerangka Program Strategis Nasional (PSN).

Dalam paparannya, Langgat mengatakan bahwa masyarakat Rempang pada dasarnya tidak menolak investasi. 

Namun yang menjadi persoalan, menurutnya, adalah pendekatan dan tahapan komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah.

"Supaya kan memang bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat secara manusiawi dan dengan cara-cara manusiawi. Tapi yang terjadi dalam dua tahun belakangan ini, banyak pemaksaan menerima konsep begitu saja," ujar Langgat 

Ia menyebut seharusnya ada tahap awal dialog dan keterlibatan masyarakat sebelum kebijakan atau proyek besar dijalankan. 

Selama proyek ini terus berlangsung, ia menilai pemerintah seolah-olah menganggap masyarakat di Rempang "tidak ada"

Lebih lanjut, ia menceritakan pernah berdiskusi dengan salah satu pihak pengambil keputusan.

Namun, menurutnya, jawaban yang ia terima justru menunjukkan bahwa tujuan investor adalah agar kawasan bersih dari masyarakat. 

Hal ini mengindikasikan bahwa konflik sejak awal sudah bisa diprediksi karena tidak ada pendekatan inklusif.

Selain itu, Langgat juga mengingatkan soal risiko lingkungan, termasuk kajian Amdal dan potensi polusi yang mungkin ditimbulkan oleh aktivitas industri.

"Kalau memang produksi industri ke depan membahayakan kesehatan, ya itu harus terbuka dibahas. Jangan sampai masyarakat jadi korban,” katanya.

Menurutnya, pendekatan "datang-datang bersih-bersih" oleh pemerintah dan perusahaan justru memicu penolakan sosial.

"Nah, Saya kira, pemerintah perlu memulai dengan pendekatan yang meyakinkan bahwa program ini memang baik. Pemerintah juga harus melibatkan masyarakat serta menjelaskan pola kepemimpinannya agar masyarakat bisa segera memahami dan menerima," kata dia.

Langgat menekankan pendekatan pemerintah untuk meyakinkan masyarakat dan melibatkan mereka secara aktif, bukan tergesa-gesa demi mengejar waktu.

"Lebih baik menggunakan waktu lebih panjang untuk diskusi mendalam dengan masyarakat dan pemangku kepentingan, daripada cepat-cepat tapi memunculkan konflik," tegasnya.

Sementara itu, Emy Hajar Abra dari Unrika menyoroti ketidakjelasan posisi hukum proyek Rempang Eco City dalam regulasi nasional. 

Ia menjelaskan bahwa dalam dokumen perencanaan jangka menengah nasional (RPJMN), proyek Rempang masih muncul di Lampiran IV, bukan di Lampiran I yang biasanya dibaca masyarakat umum.

"Kalau berbicara PSN itu di Menko perekonomian, tapi kalau berbicara tentang rencana jangka menengah di Perpres. Kalau berdasarkan regulasi masih berstatus PSN. PSN itu tidak ada dilampiran 1, masyarakat akan membaca Rempang Eco City itu tidak ada. Tetapi di lampiran lain itu ada," ujar Emy.

Ia menambahkan bahwa hukum seharusnya memiliki kepastian, namun dalam kasus ini justru melahirkan multi tafsir dan ketidakpastian.

"Tapi yang berkepastian hukum itu ditulis secara tegas regulasi itu bisa menjadi multi tafsir, simpang siur, yang dirugikan tentulah masyarakat," kata dia.

Emy juga mengkritisi pola pengambilan kebijakan pemerintah pusat dalam proyek PSN yang dinilai mengabaikan semangat otonomi daerah. 

Ia mengingatkan bahwa pasca-reformasi, sistem pemerintahan Indonesia sudah mengarah pada desentralisasi.

"Seharusnya pemerintah daerah punya kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Tapi hari ini, faktanya pemerintah pusat langsung mampu memberika program investasi perencanaan dan lain lain di daerah. Yang itu dilakukan pemerintah pusat ke pemerintah daerah," kata Emy.

Oleh sebab itu, ia menegaskan bahwa otonomi daerah di Kota Batam juga patut diperbincangkan.

Diskusi ini menegaskan bahwa proyek besar seperti Rempang Eco City tidak hanya soal investasi dan pembangunan fisik.

Tapi juga menyangkut hak dasar masyarakat, kepastian hukum, pendekatan sosial, dan keberimbangan antara pusat dan daerah. (Tribunbatam.id/Ucik Suwaibah)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved