Laporan Thomm Limahekin, wartawan Tribunnewsbatam.com
TRIBUNNEWSBATAM.COM,
BINTAN_Pembacokan terhadap Syamsudin (68), warga Bangun Rejo, oleh
beberapa pengaman salah satu perusahaan tambang bauksit di wilayah
gunung Lengkuas, Senin (20/6) lalu, mengharuskan aliansi masyarakat
Kepri untuk mengambil sikap. Ratusan warga yang tergabung dalam aliansi
ini menggelar unjuk rasa di kantor Distamben kota Tanjungpinang,
Distamben Kepri dan kantor gubernur, pada Senin (27/6).
Dalam unjuk
rasa itu mereka mempersoalkan lagi izin usaha penambangan (IUP) di
kabupaten/kota se-Kepri. Sebab, menurut data-data yang mereka peroleh
tak ada satu pun usaha penambangan di Kepri ini mengantongi IUP resmi.
Kendati tak memiliki IUP resmi, usaha penambangan tetap berjalan seperti
biasa lantaran terjadi konspirasi antara bupati/walikota yang di
wilayahnya ada usaha penambangan dengan para pengusaha tambang bauksit.
"Bupati
Bintan berkonspirasi dengan pengusaha bauksit, walikota Tanjungpinang
berkonspirasi dengan pengusaha bauksit!" seru Andi Cori F, salah seorang
wakil aliansi ini, saat bertatap muka dengan pihak Distamben Kepri.
Mewakili
aliansi masyarakat Kepri lainnya, Andi juga meminta pihak Distamben
agar segera menutup semua usaha penambangan yang ada di Kepri ini.
Permintaan ini ditanggapi Yuda, inspektur pertambangan Distamben Kepri.
Yuda mengatakan Distamben tak mempunyai wewenang menutup usaha
penambangan. Kalau pun harus mengambil bagian, Distamben hanya bisa
memberikan rekomendasi sesuai dengan temuan di lapangan.
Namun,
muncul soal ketika Andi kembali mempertanyakan sejauh mana peran
pengawasan (peninjauan) Distamben terhadap usaha penambangan sebelum
memberikan rekomendasi. Di sini para inspektur pertambangan ini mulai
kelabakan. Sebab, tidak sedikit lokasi pertambangan di Tanjungpinang dan
Bintan misalnya, belum diketahui oleh para inspektur ini.
Berangkat
dari persoalan itu, Rasyid, seorang warga Bintan, yang juga bergabung
dalam aliansi ini, membeberkan masalah terkait usaha pertambangan di
Bintan. PT Multi Dwi Makmur (MDM) kini menjadi sorotannya. Sebab,
menurut Rasyid, dalam PT MDM sudah terjadi 3 masalah.
"Pertama,
peristiwa Rabat, 2 Desember 2006. Dia itu dikeroyok habis-habisan.
Sempat dilapor ke pihak kepolisian tapi tidak ditindaklanjuti," ungkap
Rasyid dalam tatap muka itu.
Dia juga membeberkan kasus yang menimpa
Blasius Agar pada 16 Agustus 2010 silam. Blasius diculik oleh anggota
TNI. Kasus ini pun sempat dilaporkan kepada aparat penegak hukum. Namun,
sama seperti sebelumnya kasus Blasius tidak juga dilanjuti.
Peritiwa yang terakhir terjadi pada Syamsudin. Warga Bangun Rejo ini dikeroyok oleh para anggota pengamanan tambang bauksit.
"Secara tidak langsung MDM juga terlibat di dalamnya," timpal Rasyid lagi.
Selain
kasus-kasus ini Rasyid pun menyinggung banyak perusahaan tambang
bauksit yang tidak memasang plang nama di lokasi tambang. Ketiadaan
plang nama itu menjadi sebuah indikasi terjadinya ilegal mining.
Semua
masalah penambangan, termasuk kasus beberan Rasyid, tambah Andi,
berawal dari tidak adanya pembebasan lahan sebelum kuasa penambangan
(KP) itu dikeluarkan. Dan hal itulah yang tak pernah dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan tambang.
"Setiap KP sebelum dikeluarkan, lahan
itu harus dibebaskan terlebih dahulu sehingga tidak terjadi kasus-kasus
seperti sekarang ini, penganiayaan imam Masjid, dan sebagainya," kata
Andi tegas.
Kasus-kasus inilah yang melahirkan keprihatinan dari
aliansi masyarakat Kepri. Kepada Distamben Kepri, mereka meminta agar
segera memberikan rekomendasi untuk penutupan peursahaan-perusahaan
tambang yang ada. Sebab, semenjak hadir usaha penambangan, masyarakat
Kepri lebih banyak mendapat mudarat ketimbang keuntungan.
"Sekarang
kami minta buat rekomendasi untuk tutup tambang-tambang itu. Jam 3 sore
kami datang lagi," tegas Said Haris kepada pihak Distamben Kepri.
Tidak
hanya kepada Distamben Kepri, aliansi ini juga memberikan tuntutan
kepada HM Sani selaku gubernur. Sani diminta segera memerintahkan
bupati/walikota untuk menutup usaha penambangan bauksit di wilayahnya
masing-masing. Sayangnya, mereka tak bisa bertatap muka dengan gubernur
dan mengajukan secara langsung aspirasinya.
"Pak gubernur ada di
Jakarta," kata Said Agil, asisten administrasi pemerintah provinsi Kepri
saat menerima wakil-wakil aliansi ini.
Namun, mereka mati-matian
tetap ingin bertemu Sani. Mereka bahkan bersikeras menetap di kantor
gubernur sampai Sani memberikan keputusan untuk bisa bertemu secara
langsung dengan para wakil aliansi ini.
"Kami akan tetap di sini
sampai gubernur memberi keputusan final entah kapan untuk bisa bertemu
kami," pungkas Hajarullah Aswad, koordinator aliasi yang melakukan unjuk
rasa ini. (tom)
Bupati Bintan Dinilai Berkonspirasi Dengan Pengusaha Bauksit
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger