TRIBUNBATAM.id, BATAM - Pelaku usaha perkapalan Johnson W Sutjipto menyayangkan aturan terkait PMK No 50 Tahun 2016 tentang pengenaan bea masuk anti dumping terhadap impor dan PMK No.120 Tahun 2017.
Aturan yang terkait tata laksana pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas dan pembebasan cukai tersebut dianggap sangat memberatkan pengusaha.
"Peraturan anti dumping dibuat 2016, tapi hari ini baru ketahuan kalau aturan itu dijalankan terjadi kemahalan 27,5 persen," kata Johnson.
Sebesar 15 persen untuk bea masuk, dan 12,5 persen untuk bea masuk anti dumping.
Artinya, menurut Johnson, kapal-kapal yang dibuat di Indonesia, khususnya Batam, dikenakan tarif lebih mahal 27,5 persen, ketika keluar dari Batam atau Indonesia.
Kondisi ini menurutnya, cukup miris.
• Tinggal Serumah, 2 Pasang Kekasih Ini Tiap Hari Keliling Batam Curi Motor Orang, Sudah Gasak 6 Motor
• Lambat, Mahal, Kena Pajak Pula! Pengusaha Blak-blakan Pemicu Biaya Logistik Batam Melebihi Singapura
• Sampai Kapan Cuaca Batam Panas Menyengat hingga 33 Derajat? Ini Penjelasan BMKG Hang Nadim Batam
• CATAT! Fasilitas dan Acara yang Dibiayai Negara Tak Boleh Dijadikan Alat Kampanye
• HARI INI Badai Matahari Terjang Bumi & Bisa Lumpuhkan Sinyal Ponsel hingga GPS, Ini Penjelasan LAPAN
Di saat industri galangan kapal mulai bangkit lagi, namun dikenakan aturan ini.
"Hasil jerih payah anak bangsa, tapi kena kemahalan ini," ujarnya.
Dari informasi yang didapatnya, untuk Batam saja, saat ini ada 100 lebih kapal yang dipesan, tapi tidak bisa keluar.
Pihak asosiasi masih menunda pengiriman kapal-kapal ini, menunggu revisi PMK dari pemerintah. Karena jika keluar, kapal-kapal itu akan dikenakan tarif lebih mahal 27,5 persen.
"Yang paling ngeri di notulen pembetulannya. Sejak November 2017, kapal-kapal yang keluar dari Indonesia kena 27,5 persen," kata Johnson.
"Pengusaha tak tahu. Penguasa baru tahu. Ini baru diketahui karena ada pemeriksaan BPK," sambungnya.
Dari asosiasi dan pihak terkait sudah meminta Menteri Keuangan untuk merevisi aturan ini.
"Mudah-mudahan segera ditanggapi pemerintah dan ada perubahan aturan," harapnya.
Selain soal aturan PMK yang memberatkan, ada sejumlah hal lain yang masih dikeluhkan para pengusaha yang disampaikan dalam forum diskusi bersama BP Batam, Kamis (14/3/2019).
Mahalnya biaya logistik misalnya.
Dikatakan Johnson, posisi Batam terbilang luar biasa strategis karena dekat dengan Singapura.
Sayangnya, biaya logistiknya masih mahal.
Selain itu, banyak masalah lain yang dihadapi Batam terkait urusan investasi.
"Cukup miris, sudahlah mahal, tapi produktivitasnya rendah. Untuk bongkar muat saja 5 box per jam, padahal biaya sudah segitu mahalnya," ujarnya.
Begitu juga antara Imigrasi, dan Kesyahbandaran untuk dwelling time-nya, masih belum terintegrasi.
Menurut Johnson, hal-hal seperti ini perlu segera diperbaiki.
"Kalau tidak, akan selalu lambat dan mahal. Tadi sudah kita sampaikan, ada beberapa hal yang perlu diperbaiki," kata Johnson yang juga Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Indonesian National Shipowners Association (INSA).
Hal lain yang disorotinya, terkait proses alih muatan kapal di laut atau ship to ship di Batam yang banyak terjadi di luar Batam.
Indonesia mengenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 1 persen untuk ship to ship.
Sementara di Singapura, tidak menerapkan tarif tersebut.
"Jadi kita tak menarik sama sekali. Banyak potensi jasa yang bisa kembangkan cuma karena peraturan kita yang mengunci kita sendiri," ujarnya. (tribunbatam.id/dewi haryati)