TRIBUNBATAM.id, TANJUNGPINANG - Memiliki rumah yang layak menjadi idaman setiap orang.
Hal ini yang selalu diimpikan satu keluarga di Kampung BanjarBaru, RT 001 RW 001, Kelurahan Gunung Kijang, Kecamatan Gunung Kiajang, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepri.
Keluarga Lestarianti atau yang biasa disapa Yanti ini harus tinggal di tempat yang tidak biasa, tepatnya di tengah hutan.
Bersama suaminya, Siswanto dan 4 orang anaknya, wanita 42 tahun itu menyambut ramah ketika TribunBatam.id berkunjung ke kediamannya.
Jalan berbatu serta penuh dengan lubang harus dilalui untuk bisa sampai ke rumah gubuk yang berjarak sekitar 500 meter dari jalan raya.
Dari depan, rumah berbahan kayu yang dihuni keluarga itu sudah terlihat miring.
Sekeliling rumah pun sudah dihiasi pohon-pohon besar.
Dinding rumah pun terlihat ditutupi sambungan karung beras dengan maksud untuk menghalangi air hujan masuk disela-sela dinding dari bahan kayu.
Yanti merupakan keluarga tidak mampu dari sederetan keluarga miskin yang belum tersentuh bantuan dari Pemerintah Kabupaten Bintan.
Yanti bersama suaminya Siswanto bercerita bagaimana bertahan hidup selama belasan tahun di tengah hutan.
"Sudah sejak anak saya nomor dua ini tinggal di sini. Alhamdulilah ada yang minjamkan lahan untuk bangun rumah gubuk ini," ujar Yanti, Minggu (29/3/2020).
Bekerja serabutan, pasangan suami istri ini mencari rezeki sebagai pengambil getah pohon karet.
Dalam sebulan pekerjaannya itu bisa dilakukan sebanyak tiga kali.
Yanti mengaku, dalam satu kali bekerja, ia biasa mendapat upah sekitar Rp 150 sampai 200 ribu.
Uang itulah yang digunakan untuk bertahan hidup bersama anak-anaknya.
"Dapet juga rezeki dalam sebulan itu Rp 600 ribu. Itulah buat makan. Alhamdulilah pak," sebutnya tersenyum sambil mengelus dada.
• Positif Corona, Ini Alasan Dokter Persib Bandung Tidak Membawa Wander Luiz ke Rumah Sakit
• Gaji Hanya Dibayar 25 Persen, Pemain PSM Makassar Pasrah: Namanya Juga Musibah, Gimana Lagi
Rumah keluarga itu dibangun saat dipinjamkan lahan milik bos karet tersebut.
Sumber air keluarga itu dari sumur yang ada di tempat dijadikan kamar mandi.
Keluarga tersebut baru merasakan aliran listrik dua tahun lalu. Biasanya untuk menerangi rumahnya dengan menggunakan lampu tempel dengan penerangan terbatas.
Jarak antara rumahnya dengan tetangga sekitar 300 meter.
Dalam perbincangan itu, Tribunbatam.id pun mendapat kesempatan untuk melihat masuk kedalam rumah.
Ruang tamu yang hanya berukuran lebar 1,5 meter, dan panjang setengah meter itu hanya beralasan semen kasar.
Dindingnya pun terlihat hasil tambalan menggunakna karung beras.
Tepat di samping kiri dinding ruang tamu, dua kamar berukuran kurang lebih luas ruang tamunya disekat oleh papan.
Itulah menjadi ruang istirahat Yanti bersama suami dan anak-anaknya.
Untuk menuju dapur rumah ini harus menggunakan sandal, sebab lantai masih beralaskan pasir.
Kalau mau mandi dan mencuci pakaian, harus berjalan kurang lebih 5 meter dari belakang rumah.
Kamar mandi sederhana itu pun hanya bertutupan seng dan karung beras.
"Agak masuk lagi kedalam hutannya pak kalau ingin buang air besar, udah dibikin lubang gitu," sebutnya.
Selama tinggal di tengah hutan tersebut, keluarga ini tidak pernah mendapat bantuan dari Pemerintah setempat.
"Katanya aja ada bantuan, tapi sampai sekarang gak ada dapat kami bantuan pemerintah. Kalau saya gak mau muluk-muluk. Mau yang terbaik aja lah pokoknya. Kalau rumah yang layak, pastilah mau cuma kondisi seperti ini. Dikasih minjam lahan buat bangun rumah ini aja sudah bersyukur," jawabnya.
Ditengah terpaan wabah Covid-19, suami-istri ini pun tidak dapat mencari rezki. Untuk memenuhi kehidupannya.
Keluarga ini masih dipercaya hutang kepada pemilik warung di kawasan kampung tersebut.
"Alhamdulilah, yang punya warung percaya sama kami, boleh ngutang dulu kalau beli beras, sama telor dan lainnya," ujarnya dengan nada sedih.(TribunBatam.id/Endra Kaputra)