PERSPEKTIF

Menuju Pilkada Kepri yang Mencerdaskan, Mungkinkah?

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

PERSPEKTIF PILKADA - Dosen Universitas Maritim Raja Ali Haji dan Kandidat Doktor Administrasi Publik Universitas Indonesia Wayu Eko Yudiatmaja.

Editor: Septyan Mulia Rohman

TANJUNGPINANG, TRIBUNBATAM.id - Desember tahun ini menjadi gawai besar bagi penyelenggara Pemilu.

Akan ada Pilkada Serentak di seluruh Indonesia, termasuk Pilkada Kepri.

Data menunjukkan bahwa terdapat 9 provinsi 224 kabupaten 37 kota yang akan menghelat pesta politik lima tahunan di tengah pandemi Covid-19 yang belum menampakkan tanda-tanda akan berahir.

Setiap calon kepala daerah sudah pasang kuda-kuda untuk meraup suara masyarakat pemilih.

Namun, akankah Pilkada Kepri tahun ini mampu mencerdaskan publik serta menjadi momentum untuk perubahan.

Atau hanya akan jadi pesta yang silih berganti akan datang dan hilang ditelan waktu.

Tulisan ini akan menyoroti sekelumit masalah itu ditengah pesimisme yang melanda perpolitikan di negeri ini.

Persoalan Sistemik

Persoalan sistemik yang dihadapi tata kelola politik kepartaian di negeri ini adalah adanya sentralisasi kekuasaan dalam organisasi partai dan politik biaya tinggi (high cost politik).

Dua hal ini merupakan biang kerok mengapa politik kita jauh dari idealisme dan jatuh dalam kubangan pragmatisme.

Pengusaha dan dinasti. Anggota partainya juga tidak lebih tidak kurang berada dalam jaringan ini.

Merekalah yang menguasai partai politik dan punya kewenangan absolut mengajukan petugas partai untuk berkontestasi di pemilihan legislatif (pileg) dan pilkada.

Politik kita juga berbiaya tinggi. Sudah menjadi rahasia umum, bagi calon kepala daerah yang ingin maju harus memiliki kekuatan finansial yang memadai.

Hal ini penting guna membeli perahu, membayar tim sukses, relawan, tim kampanye, tim pemenangan, lembaga survei, promosi, dan bahkan membeli suara pemilih (vote buying).

Semua itu harus ditempuh karena tidak ada makan siang yang gratis.

Halaman
123

Berita Terkini