TANJUNGPINANG, TRIBUNBATAM.id - Namanya Miskayah. Wanita paruh baya itu tampak serius saat mencincang sisa dedaunan potongan sayur bercampur sisa makanan yang dikerubungi lalat besar di hadapannya.
Di bawah teriknya mentari, ia telah siap melindungi kulitnya dengan kostum lusuh sederhana. Kostumnya saat itu berkemeja bunga-bunga lengan panjang, bertopi merah.
Tak lupa ia juga menyiapkan kain tambahan untuk menutup lubang penciumannya dari bau menyengat.
Aroma busuk itu sudah jadi teman sehari-hari Miskayah, dalam prosesnya mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk dibawanya pulang ke rumah.
Demi memenuhi kebutuhan hidup bersama kedua anaknya, Miskayah harus rela banting tulang.
Baca juga: Smart Cabai Antarkan Sandi Pamungkas Dari Natuna Berprestasi di Tingkat Internasional
Baca juga: Kisah Pelatih Sepak Bola di Lingga Kembangkan Generasi Penerus Tanpa Pamrih
Ia jadi tumpuan bagi anak-anaknya setelah berpisah lama dari mantan suaminya dan merantau dari Bekasi ke Tanjungpinang. Itu sekira 18 tahun lalu.
"Sudah belasan tahun. Beginilah kerjaan saya setiap hari. Kumpulin makanan bagong (babi hutan-red) dan saat ini saya juga dibantu sama kedua anak saya," ujarnya, sambil mencincang makanan bagong di hadapannya, Selasa (8/6/2021).
Dalam sehari, ketika bahan bagong di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Ganet banyak, Miskayah mampu mengumpulkan rata-rata hingga 9 karung beras ukuran 25 Kilogram.
"Ya cukup-cukup makanlah. Sekarungnya dihargai Rp 9 ribu, tapi kadang uangnya tidak langsung kita terima. Karena bos kadang belum ada uang, kalau sudah begitu, saya nyambi mulung barang bekas, buat nyari penghasilan lagi," terangnya.
Memiliki 9 anak dengan 7 yang telah berstatus berkeluarga dan 2 yang kini masih ditanggungnya, tetap membuat Miskayah bersyukur menjalani pekerjaan sebagai pemulung dan pengumpul bagong.
"Kehidupan anak-anak bersama keluarganya pun sama hal seperti saya, seadanya. Saya pun tak berharap untuk dibantu, yang penting sehatlah. Alhamdulillah dengan pekerjaan begini pun yang penting bisa cukup makan dan biayain satu anak yang lagi sekolah," sebutnya.
Syukurnya tempat tinggal Miskayah dengan tempatnya bekerja tak jauh. Ssetiap hari Miskayah berjalan kaki menuju TPA sampah Ganet.
"Kalau rumah tak jauh dari sini. Setiap hari saya berjalan kaki saja. Mulai dari pukul 06.00 Wib pagi hingga 18.00 Wib. Di situ pun kami bangun gubuklah istilahnya dan menumpang di tanah orang yang kebetulan minta dijaga lahannya," ungkap Miskayah.
Lantaran tak memiliki pendidikan tinggi, Miskayah tidak dapat memperoleh pekerjaan yang baik sewaktu di kota asalnya Bekasi.
"Sekolah hanya sampai kelas 5 SD, tak mungkin bisa kerja di PT atau kantoran. Jadi pas di kampung dapat tawaran dari sini, bawa anak-anak naik kapal laut.
Dulu kan masih murah juga, kalau sekarang mungkin sudah mahal ya. Tapi dengan begitu saya tetap bisa bekerja sampai di sini demi anak-anak," ujarnya.
(Tribunbatam.id/Noven Simanjuntak)
Baca juga Berita Tribun Batam lainnya di Google
Berita tentang Human Interest Story
Berita tentang Tanjungpinang