Batam Terkini
Nenek Siin Ditipu Rp52 Juta Demi Rumah Impian di Batam, Kini Hanya Tinggal di Gubuk Tanpa Listrik
Di sana, sosok nenek berusia 63 tahun menunggu dengan senyum tipis yang menyimpan luka.
Penulis: Beres Lumbantobing | Editor: Eko Setiawan
TribunBatam.id, Batam - Perjalanan 60 menit dari pusat kota Batam terasa panjang. Setelah melintasi jalan aspal yang berkelok, tim Tribun Batam akhirnya tiba di depan Masjid Al-Azhar, Kampung Blongkeng, Kelurahan Cate, Galang, Senin (10/11) sore.
Di sana, sosok nenek berusia 63 tahun menunggu dengan senyum tipis yang menyimpan luka.
Nenek Siin, nama yang kini jadi pembicaraan setelah kasus penipuan jual beli rumahnya mencuat lalu memandu Tribun menyusuri jalan tanah berbatu yang menusuk ke dalam hutan. Lima ratus meter.
Tidak jauh memang, tapi jalan terjal membuat lutut terasa ngilu. Kiri kanan semak belukar. Di atas, dedaunan rapat menutupi langit senja sore hari.
"Ini jalan ke rumah saya. Sudah 14 tahun saya tinggal di sini," ujarnya pelan sambil terus melangkah. Langkah kaki Siin terbilang cepat, ia sudah terbiasa.
Setelah berjalan sekitar 15 menit, kami tiba di sebuah gubuk kecil yang berdiri peyot. Dinding papan usang. Atap seng berlubang. Lantai rumah papan. Tidak ada tiang listrik yang menjulang. Tidak ada kabel yang terpasang.
Inilah rumah Nenek Siin. Rumah yang ia tempati selama 14 tahun terakhir.
Di dalam gubuk berukuran sekitar 4x5 meter itu, tidak ada perabotan memadai. Hanya kasur tipis beralaskan papan kayu, beberapa kardus berisi pakaian, dan plastik-plastik berisi barang seadanya. Nyamuk beterbangan. Lalat hinggap di mana-mana. Sore hari pun, gubuk ini gelap karena tidak ada jendela yang memadai.
"Tidak ada listrik di sini. Kalau mau ngecas HP, saya harus keluar atau ke masjid yang diatas tadi," kata Nenek Siin sambil menunjuk ponsel tuanya yang sudah retak layarnya.
Nenek Siin duduk di pinggir kasurnya. Tangannya yang keriput mengusap-usap ujung kain sarung. Matanya menatap kosong ke luar gubuk, seolah menerawang masa lalu yang kini terasa menyakitkan.
"Saya kan pingin punya rumah di kota. Di sini kan tidak ada air, tidak ada lampu. Di Batam kan kota. Kalau ada rumah di sana, enak lah, ada air, ada lampu. Saya bisa hidup lebih layak," ujarnya dengan suara bergetar.
Mimpi sederhana seorang nenek petani punya rumah dengan listrik dan air bersih tak muluk-muluk, segala upaya ia lakukan, bertani, berkebun, menabung bertahun-tahun.
Namun, kenyataan pahit menghampirinya. Pada September 2021, putrinya yang sudah menikah dan tinggal terpisah melihat informasi di Facebook tentang rumah dijual murah di Perumahan Citralaguna Tahap 2, Tembesi, Sagulung. Harga Rp75 juta untuk sistem over kredit yang sudah di-top up.
"Pertamanya kan katanya dia menawarkan, namanya Meta, menawarkan rumah di Laguna. Pikir kita ya orangnya jujur. Tidak tahunya ya kayak gini lah," kenang Nenek Siin.
Uang Rp52 juta yang diserahkan Nenek Siin kepada terlapor berinisial M (Meta) dan N (Nengsih) bukan jumlah kecil. Itu adalah hasil keringat bertahun-tahun.
"Dulu saya kerja di pembensin juga. Terus nanam jeruk, cabai, timun, singkong, ubi, semuanya dikumpul. Sikit-sikit, lama-lama jadi. Sampai akhirnya terkumpul segitu," ceritanya.
Ia menunjuk ke belakang gubuknya di mana ada sebidang tanah kecil yang ia tanami timun dan singkong.
"Itu kebun tempat saya nanam. Dari situ saya dapat uang untuk hidup sehari-hari. Dulu juga dari situ saya kumpul-kumpul uang sampai bisa 52 juta," ujarnya.
Bayangkan, lanjut dia terus mengungkapkan kisah. Bertahun-tahun menanam, memanen, menjual hasil kebun sedikit demi sedikit. Hujan atau panas, nenek tua ini terus bekerja demi mengumpulkan uang untuk membeli rumah impian.
Nenek Siin menarik napas dalam. Ia mulai menceritakan proses penyerahan uang yang kini membuatnya menyesal.
"Pertama saya kasih DP-nya 22 juta pada 22 September 2021. Kedua 30 juta pada 28 November 2021. Total 52 juta," ujarnya.
Pada penyerahan kedua, Nenek Siin sempat kesulitan karena hasil panen timunnya belum dibayar oleh tengkulak. Si Meta dan Nengsih bahkan datang ke gubuknya untuk menagih.
"Datang dia ke sini. Dimaki-maki lah kita di sini. Padahal kita belum dapat uang dari tengkulak. Ya udah, kami nunggu dulu. Eh, rupanya dia maki-maki kita," kenang Nenek Siin dengan mata berkaca-kaca.
Setelah mendapat uang dari tengkulak, Nenek Siin segera menyerahkan uang tahap kedua kepada kedua terlapor.
Setelah uang diserahkan, Nenek Siin menunggu. Ia dijanjikan bisa segera menempati rumah. Katanya, rumah sedang dikontrak oleh orang lain dan begitu kontrak selesai, Nenek Siin bisa masuk.
"Dia bilang itu ada orang ngekos di situ. Nanti kalau orang ngekos itu keluar, kita bisa di situ. Ya udah, saya tunggu," ujarnya.
Tapi hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Bulan berganti bulan. Tidak ada kabar dari Meta atau Nengsih.
"Mereka cuma bilang tunggu dan tunggu. Kami hubungi tapi tidak respon-respon. Ditelpon tidak bisa. Di-WhatsApp tidak dibales," ujar Nenek Siin frustasi.
Pada Mei 2022, Nenek Siin mencoba datang langsung ke rumah yang ia beli di Citralaguna. Di sana ia mendapat kenyataan pahit, rumah itu sudah dijual kepada pihak lain.
"Rumah itu sudah dijual sama Brimob. Yang ngekos masih orang itu juga. Jadi dia (Meta) berarti nipu saya," kata Nenek Siin dengan suara putus asa.
Ia mencoba mencari Meta dan Nengsih. Dulu, Meta tinggal di Cipta Asri. Tapi ketika Nenek Siin datang ke sana, Meta sudah tidak ada.
"Saya pernah ke Cipta Asri cari dia. Tapi dia sudah tidak di situ lagi. Tidak tahu ke mana. Dihubungi tidak bisa," ujarnya.
Yang paling menyakitkan hati Nenek Siin, ketika ia mencoba menagih uangnya, ia justru mendapat makian.
"Dimaki-maki lah kita. Katanya pembohong lah, ini lah itu lah. Padahal saya yang jadi korban. Saya yang kehilangan uang. Tapi malah saya yang dimaki-maki," ujarnya
dengan air mata mengalir di pipi keriputnya.
Nenek Siin tidak habis pikir. Ia yang sudah tua, yang susah payah mengumpulkan uang bertahun-tahun, malah diperlakukan dengan tidak hormat oleh orang yang mengambil uangnya.
Nenek Siin mengelap air matanya dengan ujung kerudung. Ia mencoba tegar, tapi suaranya terus bergetar.
"Kalau memang orang bagus kan, walaupun dia itu dijual sama orang lain. Balikan lah uang kami. Tapi ini tidak ada. Memang dasarnya dia mau nipu," ujarnya.
Ia menambahkan dengan nada frustasi, "Kalau saya orang kaya, ditipu tidak apa-apa. Tapi saya orang susah. Uang 52 juta itu semua tabungan saya. Sekarang habis. Tidak ada lagi."
Sejak 2021, Nenek Siin mengaku kesehatannya menurun drastis. Ia sering sakit-sakitan. Stres memikirkan uang yang hilang.
"Karena uang itu tidak dibalikkan sama dia, saya tertekan batin. Mikirin terus. Jadi ya tidak sehat lah saya," ujarnya.
Di usianya yang sudah 63 tahun, Nenek Siin seharusnya bisa hidup lebih tenang. Tapi kini ia harus menanggung beban psikologis yang berat akibat penipuan yang menimpanya.
Hampir satu tahun berlalu sebelum Nenek Siin memberanikan diri melapor ke polisi. Ia melapor ke Polsek Sagulung sebelum bulan Ramadan tahun ini.
"Saya lapornya hampir satu tahun lah, sebelum bulan puasa kemarin," ujarnya.
Kini kasusnya ditangani oleh Polsek Galang dengan pendampingan dari Lembaga Bantuan Hukum. Kedua terlapor, Meta dan Nengsih, sudah dipanggil dua kali namun tidak pernah hadir.
"Saya minta keadilan. Balikkan aja lah uang itu. Kalau memang dibalikkan sama dia pun, saya mau modal juga, nanam lagi. Tapi sudah tidak dibalikkan. Ya bagaimana," ujarnya dengan nada pasrah.
Sore mulai menjelang. Gubuk Nenek Siin semakin gelap. Tidak ada lampu yang bisa dinyalakan. Hanya cahaya senja yang menembus celah-celah dinding papan.
Nenek Siin duduk termenung. Di sampingnya, anak perempuannya yang sudah menikah sesekali mengelus punggung ibunya. Mereka sama-sama kehilangan harapan.
"Dulu saya bisa kerja. Sekarang saya sudah tua. Tidak kuat lagi. Uang tabungan sudah habis untuk beli rumah yang tidak pernah saya dapat. Sekarang saya cuma bisa bertahan hidup di gubuk ini," ujarnya pelan.
Mimpi punya rumah dengan listrik dan air bersih kini sirna. Yang tersisa hanya gubuk tanpa listrik di tengah hutan, nyamuk dan lalat yang beterbangan, dan luka hati yang tak kunjung sembuh.
Kami pamit sore itu. Nenek Siin mengantar kami hingga ujung jalan tanah. Ia melambaikan tangan dengan senyum tipis yang menyimpan kesedihan.
Nenek Siin hanya berharap uangnya dikembalikan agar ia bisa menanam timun dan singkong lagi untuk bertahan hidup. (TribunBatam.id/bereslumbantobing)
| Jadi Saksi Kasus Penganiayaan ART di Batam, Hakim Ingatkan Roslina untuk Berkata Jujur |
|
|---|
| Sambut Libur Nataru 2026, BPTD Kepri Pastikan Semua Moda Transportasi Aman dan Siap Berlayar |
|
|---|
| Peduli Dapur Warga, Satgas Pangan Polresta Barelang Awasi Harga Beras agar Tetap Stabil |
|
|---|
| Kronologi Gadis Remaja di Batam Dirudapaksa Berulangkali, Pelaku Ternyata Paman Sendiri |
|
|---|
| BC Batam dan Kapal Penyelundu Kejar-kejaran di Perairan Kepri, Ribuan Rokok Ilegal Disita |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/batam/foto/bank/originals/Petani-kampung-Blongkeng-Kelurahan-Cate-Galang-Siin-63-tahun.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.