Masa Penjajahan Belanda, Soekarno Pernah Menghuni Penjara Sukamiskin. Begini Kisahnya
Presiden pertama Indonesia Ir Soekarno pernah mendekam di penjara Sukamiskin, Kota Bandung, saat masa penjajahan Belanda.
TRIBUNBATAM.id - Presiden pertama Indonesia Ir Soekarno pernah mendekam di penjara Sukamiskin, Kota Bandung, saat masa penjajahan Belanda.
Terhitung, Sang Proklamator berada di sana sejak 9 Desember 1930 hingga 31 Desember 1931.
Segala pengalaman selama di Lapas Sukamiskin pun dicurahkan Soekarno lewat buku kumpulan tulisan 'Di Bawah Bendera Revolusi'.
Seperti telah diterbitkan majalah Intisari, di edisi perdananya pada Agustus 1963, ada satu tulisan Soekarno dalam buku tersebut berjudul 'Keadaan Dipendjara Sukamiskin, Bandung'.
Baca: Artis Inneke dan Suami, Kalapas Sukamiskin dan Istri Diamankan Dalam OTT KPK, Sel Kosong Disegel
Bung Karno, sapaan akrabnya, menceritakan bahwa ia diwajibkan mengganti pakaian dengan seragam penjara warna biru saat pertama masuk Sukamiskin.
Menurut Soekarno, segala barang bawaannya dari rumah tahanan (penjara Banceuy, Kota bandung), semuanya diambil oleh petugas.
Rambutnya pun dipotong hampir gundul.
"Rambutku dipotong hampir menjadi gundul, "dimilimeter" dalam bahasa Belandanya. Hampir segala apa yang saya bawa dari rumah tahanan (di kota Bandung) – itu semuanya diambil," tulisnya.
Kegiatannya terus berulang selama di sana. Ia wajib bekerja di percetakan penjara setiap siang.
"Saya mesti pergi berbaris ketempat…… membuat kitab tulisan: disanalah saya sampai sekarang meladeni satu daripada mesin garis dan mesin potong yang besar-besar; tiap-tiap hari saya kerjakan berpuluh-puluh rim kertas: memedat barang, memuat dan membongkarnya," tulis Bung Karno.
Ia baru bisa beristirahat, mandi, dan kembali ke kamar saat pekerjaannya telah rampung pada malam hari.
"Pada malam hari kalau pekerjaan sudah selesai dan sesudah mandi yang lamanya ditentukan enam menit, ya, enam menit," jelas Bung Karno.
Baca: Inneke Koesherawati dan Suami Terjerat OTT KPK, Adik Ratu Atut dan Fuad Amin Bawa Kunci Keluar Lapas
Berikut ini surat yang dimaksud. Tentu saja sudah kami sesuaikan dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
Sukamiskin, 17 Mei 1931
Saudara!
Barulah sekarang ada sepucuk surat dari Sukamiskin kepada Saudara. Lebih baik saya katakan daripada tidak sama sekali saya berkirim surat kepada Saudara. Karena orang tangkapan seperti macamku ini hanyalah sekali dalam dua minggu boleh berkirim surat.
Dua pekan yang lalu ada jugalah kesempatan bagiku untuk mengirimkan surat. Tetapi kesempatan itu saya pakai untuk memberi kabar kepada isteriku, bahwa saya sudah dipindahkan ke Sukamiskin, dan dia boleh datang melihat dan berbicara dengan saja dua kali dalam sebulan, serta tidak boleh membawa apa-apa sebagai tanda kasih atau oleh-oleh untukku.
Berapakah lamanya? cuma sepuluh menit. Menerima surat bolehlah saya tiap-tiap hari: tentu saja diperiksa baik-baik.
Tidak berapa lamanya sesudah masuk ke dalam rumah kurungan, maka saya lalu bertukar pakaian dengan pakaian orang kurungan yang berwarna biru, rambutku dipotong hampir menjadi gundul, "dimilimeter" dalam bahasa Belandanya.
Hampir segala apa yang saya bawa dari rumah tahanan (di kota Bandung) – itu semuanya diambil. Besok harinya hari besar Islam; jadi saya tak perlu bekerja.
Baca: OTT KPK. Berstatus Napi, Suami Inneke Koesherawati Diduga Suap Kalapas Sukamiskin
Sehari sesudah itu saya mesti pergi berbaris ketempat…… membuat kitab tulisan: disanalah saya sampai sekarang meladeni satu daripada mesin garis dan mesin potong yang besar-besar; tiap-tiap hari saya kerjakan berpuluh-puluh rim kertas: memedat barang, memuat dan membongkarnya.
Pada malam hari kalau pekerjaan sudah selesai dan sesudah mandi yang lamanya ditentukan enam menit, ya, enam menit, dan membersihkan badan karena kotor oleh minyak mesin yang melekat pada tangan kaki dan pipi, dan kalau saya sudah makan, makan nasi merah dengan sambal yang sederhana, maka besarlah hati saya karena kembali ke dalam bilik kecil yang besar 1,50 x 2,50 m, sehingga dapat melepaskan Ielah pekerjaan sehari-hari.
Badanku sudah letih lesu, dan otakku seolah-olah tertidur (lethargie), sehingga kitab yang terbuka, di hadapanku tidak terbaca lagi, dan beladarpun tak ada hasilnya.
Sebentar lagi pukul sembilan cahaya mesti digelapkan dengan tidak dapat disangkal lagi; baiklah begitu, karena hari ini sudah bekerja keras, dan besoknya bekerja keras lagi, dan kedua-duanya memaksa saya mesti lekas pergi tidur.
Boleh juga pergi ke bilik tempat bermain-main, ke recreatiezaal. Di sana boleh bermain dan bermain catur; dapat membaca kitab perkara sport, pemandangan dan kitab yang berdasarkan agama, membaca di tengah-tengah saudara-saudaraku yang sedang bersuara; dapat juga berkata-kata.
Baca: OTT di Lapas Sukamiskin, KPK Juga Amankan Suami Inneke Koesherawati
Tetapi hati dan badan yang haus tiadalah dapat dipenuhinya; itupun menurut perasaanku pula. Itulah sebabnya, maka saya hanya sekali-kali saja pergi ke sana; biasanya malam hari saya berkurung dalam bilikku saja.
Saya coba-coba mengusahakan supaya waktu dalam bilik kecil ini besar hasilnya. Sampai sekarang percobaan itu tak ada manfaatnya. Karena tadi telah saya katakan: saya tak dapat belajar dengan baik, karena badan sudah payah.
Otak seolah-olah dapat penyakit kekurangan darah (anemia) sehingga tidak banyak yang dapat diterima dan dipikirkannya; otakku merasa lekas benar penuh isinya, lekas payah.
Alangkah baiknya, sekiranya ada surat kabar. Tetapi segala surat kabarku ditahan, begitu juga surat berkala; sedangkan “d’Orient" tak boleh saya terima.
Bibliotik rumah kurungan ini lebih dimaksudkan sebagai pelepas lelah dan untuk mempertebal perasaan agama daripada untuk belajar.
Kitab pengetahuan hanya sedikit; untuk keperluanku, yaitu perkara sosial dan sosiologis tidak ada sama sekali. Memasukkan buku sendiri hanya diizinkan dengan pemeriksaan keras.
Dahulu dalam rumah kurungan di Bandung, dapat juga saya meneruskan pelajaranku perkara pergaulan hidup dan sejarah, walaupun dengan beberapa perjanjian yang berat-berat.
Tetapi sekarang pelajaran ini, yaitu untuk mengetahui pergerakan pergaulan hidup, syarat-syarat pergerakan dan pergaulan orang Timur, semuanya itu terpaksalah saya hentikan, tak dapat diluaskan lagi.
Bagaimana jadinya? Hanyalah ini Sukamiskin ialah tak lebih daripada suatu rumah kurungan dan saya ini tak lebih daripada seorang orang hukuman; seorang manusia yang mesti menyembah larangan dan suruhan, seorang manusia yang mesti melupakan kemanusiaannya.
Dahulu dalam rumah tahanan hidupku telah dibatasi, sekarang batasnya bertambah sempit lagi. Segalanya di sini dikerjakan dengan suruhan komando: makan, pulang balik ke tempat bekerja, makan, mandi, menghisap udara, keluar masuk bilik kecil, semuanya dikerjakan seperti serdadu berbaris; semuanya seolah-olah disamakan dengan suatu derajat, tempat kemauan merdeka mesti dihilangkan.
Orang hukuman sebenarnya tiada lain daripada seekor binatang ternak ; orang hukuman menurut kata pengarang D’erman 'Nietzsche, ialah seorang manusia yang dijadikan manusia yang tiada mempunyai kemauan sendiri, seperti binatang ternak.
Sungguh sayang benar hati kita kepada Nietzsche! Kalau dicoba menghidupkan seorang “Uber-Mensch", dalam suatu rumah kurungan, yaitu orang yang lepas dari segala kebaikan dan keburukan, tentulah akan sia-sia belaka.
Alangkah heran hatinya, setelah dibacanya kembali kitabnya, yang bernama “Zarathustra"! Seperti saya ini tinggal dalam bilik kecil pada malam hari dipandangnya sebagai keburukan yang paling kecil; tinggal dalam kandang yang sempit, tempat manusia dapat insyaf akan dirinya, tempat manusia dapat mengemudikan sedikit-sedikit, walaupun dibatasi betul-betul.
Saya tentu akan dibenarkan, kalau saya lebih suka dibuang tiga tahun daripada dihukum 2½ tahun dalam rumah kurungan ……. Tetapi entah dimana ada tertulis kalimat ini: “Walau dimana sekalipun, patutlah kemajuan diusahakan!” Hatiku tinggal tetap: selalu insyaf akan diriku; tak pernah saja melupakan suara hatiku.
Dan selalu saja mengusahakan kemajuan-kemajuan itu, baik dahulu atau sekarang. Barang siapa yang tidak berusaha menuju derajat Uber-Mensch, itulah tandanya ia tak tahu akan suruhan kemajuan.
Korban yang sebenar-benarnya dilakukan tentulah tidak akan terbuang-buang saja; bukanlah Sir Oliver Lodge telah mengajar “no sacrifice is wasted" atau dalam bahasa Jawa "Jer basuki mawa bea".
-- (Dari "Dibawah Bendera Revolusi" jilid I halaman 115).
Diketahui, selama menghuni penjara Sukamiskin, Soekarno menempati sel seluas 2,5 m x 3,2 di ujung sebelah barat lantai dua blok timur.
Hingga kini bekas sel Bung Karno itu masih terawat. Di depan pintu masuk sel, tertera tulisan 'Bekas Kamar Bung Karno'.
Saat TribunJabar.id menengok ke dalam sel, di sana terdapat beberapa barang yang tertata rapi.
Di antaranya dua buah lemari kecil, satu meja kecil, satu kursi rotan, satu kursi kayu bulat, satu rak kayu, sebuah ranjang besi, kasur, bantal, guling, lambang burung garuda, dua buah foto Bung Karno, kloset, dan sapu.
Selain itu, ada pula buku-buku perjuangan Bung Karno serta poster Sang Proklamator di kiri dan kanan dinding sel.