BATAM TERKINI
Dampak PMK 199, Perwakilan UMKM Temui Bea Cukai di Kantor Kadin Batam
Pelaku UMKM tergabung dalam BOC, mengadukan perihal pemberlakuan PMK 199/2019 kepada Kadin Batam. Kegiatan dihadiri perwakilan Bea Cukai
“Ini sama saja pemerintah membunuh kami. Kita untungnya kecil. Biaya produksi terus naik karena sewa toko serta gaji pegawai yang tinggi di Batam. Kini, dengan pengenaan tarif impor ini, modal kita juga naik,” kata Merry, seorang pedagang tas di Nagoya, Batam.
Batam, kata dia, semestinya dijadikan surga belanja oleh pemerintah untuk meningkatkan kunjungan wisata, terutama wisata domestik.
“Harusnya pemerintah menahan orang Indonesia yang belanja ke Singapura ke Batam. Ketentuan ini akan membuat orang lari lagi ke Singapura dan meatikan kita,” katanya.
Selain itu, pemilik gerai di Batam belakangan ini banyak terbantu oleh para reseller online karena penjualan pasar lokal sangat kecil. Para reseller ini umumnya ibu rumah tangga, tukang ojek dan warga yang menganggur akibat PHK.
“Merekalah yang aktif menjual barang melalui media sosial. Kita menekan untung agar mereka juga dapat untung. Kini, otomatis mereka terpukul juga seperti kita,” katanya.
80 Persen Online
Tidak hanya pedagang, keluhan yang sama juga memukul perusahaan jasa pengiriman.
Seperti pengakuan Bagas, pegawai TIKI di Ruko Grand Niaga Mas, aturan ini dapat mematikan usaha jasa pengiriman barang.
"Kan sudah tidak masuk akal, sekarang barang apa yang nilainya 40 ribu dikenakan tarif. Bisa-bisa mati semua nanti perusahaan pengiriman," ungkapnya.
Bagas mengungkapkan, selama ini sebagian besar pengiriman adalah dari seller online yang mengirimkan barangnya ke luar Batam.
"Kira-kira 80 persen pengiriman memang dari seller online," sambung Bagas yang sudah mendapat arahan dari atasannya untuk langsung memberlakukan tarif ini mulai tanggal 30 Januari nanti.
Diki, pegawai JNE di Ruko Tunas juga mengeluhkan aturan ini. Menurut dia, para pedagang saat ini seakan mengejar waktu sebelum tanggal 30 Januari.
“Mereka (seller online) semua mengeluh dan ketakutan,” ungkap Diki.
Diki berpendapat, jika ambang batas itu diterapkan, bisa-bisa pajaknya lebih mahal dari harga barangnya. Ketika ditanya kemungkinan untuk mencurangi harga barang di invoice, Diki menyatakan hal itu tidak mungkin.
“Batasnya kan rendah sekali, cuma 3 dolar AS atau Rp 45 ribu. Bagaimana mencuranginya? Itu sulit sekali,” katanya.
Apindo Minta Tinjau Ulang
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepri, Cahya, meminta pemerintah meninjau ulang pemberlakuan PMK Nomor 199 Tahun 2019.
Hal itu disampaikan oleh Cahya usai berdiskusi dengan Komunitas pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Kota Batam yang tergabung di dalam Komunitas Batam Online Community (BOC) ke kantornya pada Senin (20/1) siang.
Menurut Cahya pemberlakuan PMK Nomor 199 tahun 2019 itu nantinya ambang batas impor sehingga biaya pengiriman barang dari kawasan setempat ke daerah lain di Indonesia akan naik.
Hal ini akan berakibat langsung kepada ratusan UMKM di kota Batam yang mengandalkan penjualan online.
Dalam dialog dengan BOC yang dilanda kecemasan, Cahya meminta agar para pelaku UMKM menyuarakan permasalahan tersebut ke Bea dan Cukai Kota Batam dan menyurati Ditjen BC.
"Kita juga akan menyurati BC Batam secara resmi. Juga Wali Kota Batam dan DPRD Batam agar pemangku kepentingan itu bisa mengambil sikap dalam hal ini,” katanya.
Ketua BOC Saugi Sahab mengatakan, PMK tersebut dikhawatirkan mematikan pedagang online di Batam, karena harga jual final dipastikan tidak bisa bersaing dengan harga jual produk luar Batam.
“Sekarang ini andalan ekonomi masyatakat Batam adalah sektor perdagangan karena industri belum pulih. Dengan ketentuan seperti ini, pelanggan kami tak akan mau lagi belanja pada kami karena berat di pajak," ujarnya.
Ia dan pelaku UMKM Batam mengusulkan, agar pemerintah mengurangi ambang batas minimal untuk tarif impor itu secara drastis.
Menurut dia, penurunan ambang batas dari 75 dolar AS menjadi 3 dolar AS terlalu drastis.
"Paling tidak 50 dolarlah. Kalau cuma 3 dolar Rp 45 ribu, barang apa yang harganya di bawah itu," ungkapnya.
Menurut dia, berkembangnya reseler online saat ini merupakan jalan keluar bagi masyarakat untuk menyambung hidup karena sektor formal, seperti industri, perkapalan dan industri penunjang migas mengalami penurunan.
“Batam tak seperti dulu lagi. Pembeli lokal lemah sehingga kami bisa menyambung hidup dengan penjualan online ini,” katanya. (tribunbatam.id/ardananasution/Leo Halawa/kdk/bob/koe)