Laporkan 13 Kluster Covid-19 Baru, Malaysia Pertimbangkan Kewajiban Pakai Masker
Pemerintah Malaysia dikabarkan tengah mempertimbangan kebijakan tentang mewajibkan penggunaan masker untuk masyarakat karena menumkan 13 kluster baru.
TRIBUNBATAM.id, KUALA LUMPUR - Wabah virus Corona atau Covid-19 yang menyerang dunia, erat kaitannya dengan penggunaan masker oleh masyarakat untuk melindungi diri.
Pemerintah Malaysia dikabarkan tengah mempertimbangan kebijakan tentang mewajibkan penggunaan masker.
Terlebih, saat ini negara tetangga itu menemukan 13 kluster virus Corona baru usai melonggarkan pembatasan sosial pada akhir bulan lalu.
Hal itu disampaikan Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin pada Senin (20/7/2020) sebagaimana dilansir dari Reuters.
Otoritas kesehatan Malaysia mencatat 21 kasus positif Covid-19 baru pada Senin.
Jumlah kasus baru yang mencapai dua digit tersebut kini mulai kembali diseriusi oleh Pemerintah Malaysia.
• Malaysia Dianggap Terlalu Tenang Hadapi Konflik Laut China Selatan, Menlu Sampai Ditegur
Padahal sebelum pelonggaran pembatasan yang mulai ditetapkan pada 10 Juni, jumlah kasus potif Covid-19 harian di Malaysia hanya satu digit angka.
Kini Malaysia mencatatkan total kasus positif Covid-19 sebanyak 8.800 kasus dengan 123 kematian.
Jumlah kasus positif Covid-19 pada Minggu sebanyak 15 kasus. Sedangkan pada Jumat, jumlah kasus positif Covid-19 sebanyak 18 kasus.
Muhyiddin mengatakan kenaikan kasus posirif Covid-19 dan munculnya beberapa kluster baru tersebut membuat pemerintah berpikir untuk menerapkan aturan kewajiban mengenakan masker.
"Rinciannya akan diumumkan setelah peraturan diselesaikan oleh pemerintah," kata Muhyiddin dalam pidato yang disiarkan di televisi nasional.
Malaysia adalah salah satu dari negara di kawasan ASEAN yang memberlakukan pembatasan sosial yang ketat setelah pandemi virus Corona mulai merebak.
Tersandung Kasus Kerja Paksa, Bea Cukai Amerika Serikat Tahan Sarung Tangan Medis Buatan Malaysia
Top Glove Corp Bhd (TPGC.KL) Malaysia tengah menjadi sorotan karena diduga melakukan kerja paksa terhadap karyawannya.
Terbaru, otoritas Bea dan Cukai Amerika Serikat menetapkan perintah penahanan pada impor produk yang dibuat oleh anak perusahaannya.
Dampak dari wabah virus Corona atau Covid-19, permintaan produk sarung tangan medis dan APD buatan perusahaan Top Glove dikabarkan meningkat.
Sementara itu, wabah virus Corona telah memukul Negeri Paman Sam lebih keras daripada negara lain diseluruh dunia.
Bedasarkan situs real time virus Corona, Worldometers.info, Jumat (17/7/2020) pagi, AS mencatat kasus infeksi virus Corona mencapai 3.695.025 kasus.
Dari angka itu, sebanyak 1.679.633 orang sudah sembuh dan 141.118 dinyatakan meninggal dunia.
Sementara itu, 16.452 orang dalam kondisi kritis.
Situs resmi Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan (CBP) AS menunjukkan perusahaan Top Glove dan TG Medical masuk dalam daftar “Withhold release order” (WRO) pada Rabu (15/7/2020).
Artinya, Bea dan Cukai AS menahan semua barang-barang impor dari perusahaan itu karena masalah-masalah kerja paksa.
Melansir dari Reuters, dalam pernyataan yang dikirim melalui email, Bea dan Cukai AS mengatakan bahwa melalui konsultasi antar-lembaga yang luas, mereka telah menemukan bukti praktik kerja paksa, termasuk ikatan hutang di antara praktik-praktik lain di unit Top Glove.
"WRO ini mengirimkan pesan yang jelas dan langsung kepada importir AS bahwa praktik perbudakan modern yang ilegal, tidak manusiawi, dan eksploitatif tidak akan ditoleransi dalam impor AS," kata pernyataan itu.
Bagaimana pun, Bea dan Cukai AS sadar akan kebutuhan kritis saat ini untuk sarung tangan medis sekali pakai dan akan terus mengizinkan masuknya sarung tangan yang diproduksi oleh semua produsen lain.
Diperkirakan bahwa pesanan terhadap entitas Top Glove di Malaysia tidak akan berdampak signifikan terhadap total impor AS dari jenis sarung tangan itu.
Selain di Malaysia, Perusahaan Top Glove juga memiliki pabrik di China dan Thailand.
"Kami menjangkau Bea dan Cukai AS melalui kantor kami di AS, pelanggan dan konsultan, untuk memahami masalah ini dengan lebih baik dan bekerja menuju penyelesaian masalah yang cepat, dalam perkiraan 2 minggu," katanya.
Dalam sebuah konferensi pers, bos Top Glove mengatakan bahwa pengiriman dari dua unitnya mewakili setengah dari penjualan AS, dan 12,5% dari penjualan grupnya.
Namun, kelompok itu mengatakan anak perusahaan lain masih bisa menjual ke AS dan bahwa negara-negara lain akan dengan mudah menyerap pengiriman yang dikembalikan.
“Kami terus mengirim karena kami dapat mengirim. Terburuk menjadi terburuk, negara-negara lain akan mengambil juga karena buku pesanan lebih dari 100%, "kata Ketua Eksekutif, Lim Wee Chai.
Tahun lalu, Bea Cukai AS mengambil tindakan serupa terhadap perusahaan pembuat sarung tangan medis Malaysia lainnya, WRP Asia Pacific Sdn Bhd.
Perintah penahanan atas impor barang-barang WRP dicabut pada bulan Maret setelah tindakan perbaikan dilakukan.
Spesialis hak pekerja migran independen, Andy Hall mengatakan pada hari Kamis bahwa kerja paksa di antara pekerja asing di industri sarung tangan Malaysia hanya dapat diatasi dan dikurangi ketika gaji mereka dibayarkan secara penuh.
"Untuk memastikan tidak ada ikatan hutang dari para pekerja ini, praktik-praktik perekrutan etis atau kebijakan tanpa biaya perekrutan harus diterapkan. Jika industri bergerak maju untuk merekrut lebih banyak pekerja asing di masa depan," katanya.
Penggunaan sarung tangan medis di seluruh dunia diperkirakan melonjak lebih dari 11% menjadi 330 miliar pasang tahun ini.
Menurut kelompok produsen sarung tangan karet Asia Tenggara itu, dua pertiga sarung tangan medis di seluruh dunia kemungkinan dipasok oleh Malaysia.
(*)
• Najib Razak Sindir Mahathir Mohamad di Media Sosial, Eks PM Malaysia Minta Jangan Terus Disalahkan
• Tiga Tersangka Berstatus Kurir, Ditresnarkoba Polda Kepri Ungkap Asal Sabu-Sabu 2 Kg dari Malaysia
• Tuai Tentangan, Malaysia Umumkan Bakal Menangkap Kaum Transgender di Negaranya
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kasus Covid-19 Terus Naik, Malaysia Pertimbangkan Kewajiban Pakai Masker ".