HUMAN INTEREST
Anak Suku Laut Pulau Gara Batam Berjuang untuk Sekolah, 'Kami Ingin Cucu Dapat Pendidikan'
Melihat lebih dekat hak pendidikan anak suku laut Pulau Gara Batam, Provinsi Kepri. Bagaimana perjuangan mereka untuk bisa sekolah?
Penulis: Novenri Halomoan Simanjuntak | Editor: Septyan Mulia Rohman
BATAM, TRIBUNBATAM.id - Kota Batam, Provinsi Kepri dengan sejumlah gemerlap pembangunannya ternyata belum dirasakan sejumlah warganya.
Agar menepi dari pusat kota yang dikenal akan sektor industri dan pariwisatanya ini, potret kehidupan berbeda bisa dilihat di Pulau Gara.
Di sini, mayoritas penduduk yang bermukim merupakan suku laut yang sudah tinggal lebih dari 30 tahun.
Selama itu pula, warga berjuang untuk bertahan hidup, jarang dari sentuhan pembangunan.
Salah satu yang terlihat jelas di antaranya tidak adanya fasilitas pendidikan di pulau ini.
Satu-satunya gedung Sekolah Dasar yang dapat diakses oleh anak-anak suku laut Pulau Gara terletak di Pulau Bertam yang berjarak tempuh lebih kurang 10 menit bila dihitung dari rumah.
Dan bila ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) anak-anak suku laut Pulau Gara juga harus menyebrang lautan dengan menempuh jarak yang cukup jauh hingga memakan waktu lebih kurang 30 menit ke Pulau Kasu.
Baca juga: KISAH Kepala Suku Laut Batam, Pindah Rumah dari Perahu ke Pulau Gara Demi Anak Cucu
Baca juga: TOLAK Rumah Cuma Ditambal, Suku Laut Warga Pulau Bertam Minta Rumahnya Dibangun Ulang
Jangan pikir untuk sekolah anak-anak pesisir ini sama seperti anak sekolah pada umumnya.
Menggunakan boat pancung setiap hari untuk menyeberang pulau, tak jarang mereka harus mengangkat boat pancungnya ketika air laut sedang surut.
Kalau kondisi sudah seperti ini, lumpur hingga jarak ratusan meter pun tak mereka hiraukan.
Bahkan luka lecet karena bagian tubuh terkena batu karang yang tajam sudah terbiasa mereka rasakan.
Bahkan, bila tak memungkinkan anak-anak suku laut akhirnya tidak bersekolah lantaran tidak mampu menarik atau mengangkat boat pancungnya menuju bibir laut saat kondisi halaman depan rumahnya yang surut.
"Kalau sudah mau masuk musimnya begini laut kering, Pak. Jadi susah kalau mau beraktivitas untuk antar anak sekolah, orang sakit atau acara mendadak. Kalau kering panjangnya bisa sampai 180 meter sampai ke bibir laut," sebut Zamaludin, Kepala Suku Laut Pulau Gara kepada TribunBatam.id.
Usia Zamaludin memang tak lagi muda, namun ia masih ingat betul potret leluhurnya termasuk cerita hingga akhirnya suku laut bermukim di Pulau Gara.
Baca juga: Berjuang di Masa Pandemi, Suku Laut Lingga Jual Sampan ke Pulau-Pulau
Baca juga: Kisah Atan Orang Suku Laut di Lingga, Jajakan Sampan Buatannya di Tengah Pandemi
Menjabat sebagai RT sejak tahun 1992, Zamaludin bercerita bahwa dari leluhurnya memang tidak mengenal akan pendidikan ataupun bersekolah.
Hingga akhirnya oleh Pemerintah Kota (Pemko) Batam mereka ditempatkan di Pulau Gara dan menetap di rumah.
"Nenek moyang kami gak ada pendidikan, oleh karena itu harapan kami dengan dipindahkan ke pesisir pantai ini dari pada anak cucu kami punya pendidikan pak," ungkapnya.
Ia pun turut menyayangkan, tidak adanya bangunan lokal belajar yang disediakan oleh pemerintah bagi anak-anak suku laut di Pulau Gara sejak tiga puluh tahun terakhir mendiami pulau tersebut.
"Sudah 30 tahun kami tinggal di sini, satu lokal pun untuk anak-anak sekolah tidak ada, coba bapak pikir. Dari pada sekolah TK tak ada, SD juga tak ada, itulah masalah dia pak. Gitu juga balai pertemuan tak ada, tempat kesehatan juga tak ada. Maka dari itu kami pikir apa pemerintah tak tahu permasalahan ini," tutur lelaki paruh baya itu.
Namun tak banyak dari anak-anak suku laut Pulau Gara yang berhasil menamatkan jenjang pendidikan SMP dan SMA. Tradisi melaut yang merupakan ciri khas suku laut juga kerap menjadi salah satu faktor rendahnya pendidikan mereka.
Hal pendidikan anak suku laut benar-benar menyisakan kesedihan bagi sejumlah orang tua suku laut sendiri, sama seperti yang diungkapkan oleh Jumariyah.
Ia mengaku telah berupaya keras mendorong anak-anaknya untuk tetap melanjutkan sekolah hingga tingkat menengah.
"Kami inginnya mereka ini melanjutkan pendidikannya, tapi anak-anak nih udah tak mau. Katanya lebih suka kerja di laut nyari ikan teri," terangnya.
Anak-anak Jumariyah hanya tamat Sekolah Dasar, melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP dan SMA di Pulau Kasu tak lagi jadi impiannya.
Baca juga: HIDUP di Sampan sebagai Suku Laut, Junia: Saya Kecil Hati, Diejek Orang Mantang atau Orang Barok
Baca juga: Hidup di Atas Sampan, Begini Kesederhanaan Hidup Masyarakat Suku Laut Asli Kepulauan Riau
Tradisi hidup melaut dan mendapatkan hasil tangkapan baik ikan dan udang terdorong kuat dalam tradisi mereka.
"Kadang kalau hasil tak dapat banyak, anak-anak pulang pagi. Di sini tak banyak memang yang melanjut, rata-rata hanya tamat SD," tukasnya.
TribunBatam.id pun turut merasakan hal yang sama saat tiba di Pulau Gara sore itu.
Laut yang mengering memaksa diri untuk turun dari boat dan berjalan kaki menuju pelantar deretan rumah suku laut.
Di titik air laut yang cukup dalam dengan mimik wajah yang tak takut sama sekali, tiga anak suku laut tampak bersemangat duduk di atas sampannya sembari memancing ikan karam.
Sedang beberapa lainnya memilih bermain di tanah laut yang telah kering, berlarian dan saling mengejar hingga sore menjemput dan air laut pasang kembali mereka naik ke pelantar rumahnya.(TribunBatam.id/Noven Simanjuntak)
Baca juga Berita Tribun Batam lainnya di Google
Berita Tentang Batam
