FEATURE

Suka Duka Kehidupan Nelayan Kelong di Bintan, 6 Bulan Hasil Tangkapan Turun Drastis

Inilah suka duka kehidupan nelayan kelong di Desa Malang Rapat Bintan. Nelayan akui saat ini hasil tangkapan mereka menurun drastis

Penulis: ronnye lodo laleng | Editor: Dewi Haryati
tribunbatam.id/Ronnye Lodo Laleng
KELONG - Kelong milik Husni, seorang nelayan di pesisir Desa Malang Rapat, Kabupaten Bintan 

TRIBUNBATAM.id, BINTAN - Sore itu, air laut mulai surut di pesisir pantai Desa Malang Rapat, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

Berbeda dengan pesisir pantai lainnya, di desa ini pengunjung pantai disuguhkan pemandangan laut yang dipenuhi pondok-pondok terapung.

Pondok kecil itu berukuran sekitar 2×3 meter. Sebagian pondok atapnya terbuat dari daun pohon kelapa. Dindingnya berasal dari susunan kayu yang dipaku. Selain itu lantainya juga terbuat dari kayu dan papan.

Makin sore, air laut makin surut. Pondok-pondok kecil ini tidak lagi mengapung. Drum-drum penahan mulai menyentuh dasar pantai.

Baca juga: Angin Kencang dan Gelombang Tinggi Terjang Puluhan Kelong di Desa Bakong Lingga

Begitu juga jangkarnya semakin jelas nampak tertambat di dasar laut.

"Ini merupakan alat tangkap ikan dan sorong yang ampuh, namanya kelong,” ujar nelayan di Desa Malang Rapat Bintan bernama Husni kepada TribunBatam.id baru-baru ini.

Ditemani secangkir kopi, pria 42 tahun itu mulai bercerita. Ia mengawali obrolannya soal kelong apung.

Diakuinya, sebagian besar warga Bintan, Kepri merupakan nelayan.

Hampir setiap hari mereka berada di laut untuk mencari ikan, dan baru pulang ke darat setelah berbulan-bulan lamanya.

Mayoritas nelayan itu menggunakan alat tangkap kelong.

Kelong digunakan untuk menangkap ikan bilis, sotong dan ikan lain.

Nelayan saat menambat kelongnya di pesisir pantai Desa Malang Rapat, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Selasa (25/10/2022)
Nelayan saat menambat kelongnya di pesisir pantai Desa Malang Rapat, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Selasa (25/10/2022) (tribunbatam.id/Alfandi Simamora)


Desa Malang Rapat, Gunung Kijang menjadi salah satu desa yang kebanyakan masyarakatnya merupakan nelayan kelong apung.

Tidak berhenti sampai di situ, tantangan nelayan menggunakan kelong apung juga ada. Mulai dari hasil yang tidak menentu hingga ancaman pencurian alat penting di atas kelong.

Apalagi sekarang mereka harus berhadapan dengan langkanya solar. Lantaran kelong apung salah satu alat tangkap yang menggunakan solar menjadi modal utama.

Menggunakan kelong untuk menangkap ikan bukan hal baru bagi Husni. Ia sudah menggunakan kelong sejak umurnya masih 16 tahun. Saat itu ia diajak ayahnya mencari ikan di perairan Bintan.

Mengawasi kelong bukan persoalan mudah. Lantaran Kelong dibangun dengan harga tak murah.

Ia harus mengeluarkan uang sekitar Rp120 juta lebih atau sebanding dengan satu unit mobil Daihatsu Sigra atau Daihatsu Ayla.

"Mungkin saat ini sudah lebih mahal lagi, bisa jadi Rp150 juta ke atas," ucapnya.

Mahalnya harga kelong membuat barang yang satu ini sulit dilepaskan kepada orang lain.

Banyak kasus yang terjadi, kelong hilang di tengah laut ketika dibawa oleh orang kepercayaan pemilik.

"Terkadang juga dijual di tengah laut, ke warga Singapura lah, macam-macam pokoknya," katanya.

Kondisi itu membuatnya tidak berani membangun kelong lagi. Ia belum menemukan orang yang amanah dan jujur untuk membawa kelong apung tersebut.

Husni menjelaskan, kayu menjadi bahan utama untuk membangun kelong. Untuk satu kelong apung modal kayunya bisa mencapai Rp20-30 juta.

Baca juga: Puluhan Nelayan Kelong Apung di Bintan sudah 2 Bulan Tak Melaut Gegara Angin Kencang

Belum lagi bahan lainnya, drum, mesin, jaring dan lainnya. Satu kelong apung harus memiliki sekitar 46 drum agar bisa mengapung. Selain itu jaringnya juga seluas 42 meter.

Ia berani beralih ke kelong apung daripada kelong cacak, karena kelong apung menurutnya lebih tahan lama. Diperkirakan alat tangkap ini bisa bertahan sampai lima hingga enam tahun.

Tentu dengan perawatan ekstra, seperti mengganti kayu yang lapuk dan lain sebagainya.

"Sementara kelong cacak itu, satu tahun saja bertahannya, kalau diterjang angin utara rusak itu," jelasnya.

Kelong apung berbentuk sebuah rumah panggung. Di bagian tengah terdapat pondok kecil tempat nelayan berteduh dan juga memasak bilis hasil tangkapan.

Di sekeliling pondok, terdapat kayu-kayu yang disusun membentuk lantai. Lantai itu memiliki tiang setinggi hampir dua meter ke drum di bawahnya. Drum itulah yang membuat kelong ini terapung.

Sedangkan jaring untuk menangkap ikan terdapat di bawah lantai, dengan lebar enam meter dan panjang tujuh meter.

Jaring tersebut yang akan diturunkan untuk menangkap ikan di permukaan laut. Dulu, menurunkan dan menaikkan jaring dilakukan secara manual.

Namun sekarang sudah menggunakan mesin berbahan bakar solar.

"Lantaran sudah pakai mesin, saya tidak perlu anak buah lagi," ucapnya.

Jaring kelong ini diturunkan sekitar 10 meter. Setelah itu ditunggu beberapa saat dan diangkat ke permukaan. Target ikan yang dicari yakni jenis ikan bilis atau ikan teri.

"Tetapi apapun yang masuk diambil," katanya.

Ia turun melaut ketika bulan gelap. Sedangkan ketika bulan terang kelongnya parkir di pantai. Begitu juga dengan nelayan kelong lainnya. Setiap nelayan saling melaporkan kondisi ikan di laut.

Ia biasa berangkat melaut jam 5 sore dan kembali jam 6 pagi. Proses pencarian bilis ini memang dilakukan pada malam hari. Kelong harus memiliki lampu yang terang.

Lampu tersebutlah yang mengundang ikan berada di bawah kelong, mereka kemudian terperangkap masuk ke dalam jaring.

Setiap kelong rata-rata memiliki dua mesin. Satu mesin untuk menarik jaring, satu lagi mesin untuk menghidupkan lampu.

"Lampu ini mesinnya juga pakai solar, semakin terang lampu, semakin banyak ikan datang," katanya.

Selama melaut, jika gelombang tidak kuat Husni bisa menurunkan jaring satu kali dalam dua jam. Sedangkan kalau gelombang kuat ia menurunkan jaring sekali empat jam.

Kelong ini sampai ke tengah laut bukan dengan mesin sendiri. Tetapi harus melalui jasa boat khusus.

Boat itu tersedia di perairan Desa Malang Rapat, khusus membawa kelong ke tengah laut untuk mencari ikan.

Satu boat bisa menarik empat sampai enam kelong sekali jalan.

"Cara bayarnya dengan pemilik boat, bagi hasil, 20 persen pendapatan kita untuk boat tarik itu," ujarnya.

Menurutnya, dalam enam bulan belakangan hasil tangkapannya menurun drastis. Husni tak mengetahui penyebabnya. Sebagai nelayan, mereka hanya bisa pasrah dan tetap melaut.

"Biasanya dalam satu bulan saya bisa membawa Rp20 juta. Tetapi enam bulan belakangan mencari Rp 6 juta sangat sulit," ceritanya.

Biasanya 100 kilogram ikan bisa didapatnya. Sekarang mencari 10 kilogram sangatlah susah. Bahkan beberapa kali hasil tangkapan mereka nihil.

Meskipun hasil menurun, modal tetap saja harus dikeluarkan.

"Kalau dapatnya 10 kg tidak cukup untuk menutup modal, rugi yang ada," tuturnya.

Ia tidak berani membawa kelongnya ini ke laut perbatasan. Pasalnya sudah rapuh. Ia khawatir diterjang angin utara.

"Sementara sekarang, kami tidak tahu cuaca tidak menentu," ujarnya.

Ditambah lagi, jumlah kelong nelayan semakin banyak di Pesisir Desa Malang Rapat. Sedangkan ikan semakin berkurang, modal semakin naik (BBM solar naik).

"Termasuk ada satu orang di sini memiliki kelong lebih dari lima," ucap Husni lagi.

Kendati demikian, ia tak pernah putus asa. Husni tetap pergi melaut dengan alat tangkap kelong.

"Ini adalah pekerjaan utama saya. Semua biaya tergantung dari hasil laut," katanya. (TRIBUNBATAM.id/ Ronnye Lodo Laleng)

Baca berita Tribun Batam lainnya di Google News

Sumber: Tribun Batam
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved