OKNUM TNI SERANG WARGA

Dampak 33 Oknum TNI Serang Desa di Deli Serdang: Warga Masih Cemas, Anak-anak Takut ke Sekolah

Warga Desa Selamat terkena dampak psikologis atas penyerangan yang dilakukan 33 oknum TNI Batalyon Armed.

Editor: Khistian Tauqid
TRIBUN MEDAN/FREDY SANTOSO
Momen ratusan warga Desa Selamat, Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deliserdang menggeruduk Batalyon Artileri Medan (Armed) sambil membawa mayat Raden Barus, diduga korban pembunuhan personel TNI pada Jumat malam, Sabtu (9/11/2024). Mereka meminta pertanggungjawaban atas kematian korban dan korban luka akibat penyerangan. 

Koalisi Masyarakat Sipil Desak Oknum TNI Pelaku Penyerangan Warga di Deli Serdang Segera Diadili

Koalisi masyarakat sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengecam keras penyerangan secara membabi buta masyarakat Desa Selamat, Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang Sumatra Utara, oleh oknum anggota TNI dari Batalyon Artileri Medan 2/105 Kilap Sumagan.

Penyerangan tersebut ditenggarai disebabkan oleh adanya perselisihan antara salah seorang warga dengan anggota TNI pada siang hari di jalan. 

Puluhan anggota TNI kemudia merespon perselisihan tersebut dengan melakukan penyerangan secara brutal terhadap warga.

"Kami menilai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota TNI tersebut tidak dapat dibenarkan dengan dalih apapun," tulis keterangan Koalisi Masyarakat Sipil, Senin (11/11/2024).

Koalisi menilai, penyerangan terhadap warga yang dilakukan oleh anggota TNI di Kabupaten Deli Serdang tersebut menunjukan kecenderungan masih kuatnya arogansi dan kesewenang-wenangan hukum (above the law) anggota TNI terhadap warga sipil.

Para anggota TNI yang diduga melakukan serangan brutal tersebut tidak boleh dibiarkan tanpa proses hukum dan harus dihukum sesuai dengan perbuatannya. 

Berdasarkan catatan Imparsial, sepanjang tahun 2024 (Januari – November 2024) ini saja, telah terdapat 25 peristiwa kekerasan anggota TNI terhadap warga sipil.

Bentuk-bentuk kekerasan tersebut antara lain; penganiayaan atau penyiksaan terhadap warga sipil, kekerasan terhadap pembela HAM dan jurnalis, intimidasi dan perusakan properti, penembakan, dan KDRT.

Motif dari tindakan kekerasan yang dilakukan oknum anggota TNI ini juga beragam, mulai dari motif persoalan pribadi, bentuk solidaritas terhadap korps yang keliru, terlibat dalam sengketa lahan dengan masyarakat, terlibat dalam penggusuran, serta pembatasan terhadap kerja-kerja jurnalis dan pembela HAM.

Umumnya, pelaku kekerasan tersebut juga tidak mendapatkan hukuman atau sanksi sebagaimana mestinya (impunitas).

Koalisi menilai, langgengnya budaya kekerasan aparat TNI terhadap warga sipil di sejumlah daerah salah satunya disebabkan oleh belum direvisinya UU tentang Peradilan Militer (UU NO. 31 tahun 1997).

Sistem Peradilan Militer yang berjalan selama ini tidak urung menjadi sarana impunitas bagi aparat TNI yang melakukan kekerasan. Reformasi peradilan militer sesungguhnya adalah mandat dari UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Pasal 65 Ayat (2) UU TNI menyebutkan bahwa “prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”.

Selain itu, upaya mewujudkan reformasi peradilan militer merupakan sebuah kewajiban konstitusional yang harus dijalankan Pemerintah dan parlemen. 

Halaman
123
Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved