UMS 2025

Apindo Kepri Usul Penerapan UMS 2025 Ditunda, Bisa Beratkan Perusahaan Jika Tanpa Kajian

Apindo Kepri meminta agar penerapan UMS 2025 ditunda. Hal tersebut dinilai karena aturannya masih belum jelas dan berpotensi memberatkan dunia usaha

Penulis: Ucik Suwaibah | Editor: Dewi Haryati
Ucik Suwaibah/Tribun Batam
Ketua Apindo Kepri, Stanly Rocky saat ditemui di Lantai V Graha Kepri, Batam usai pembahasan UMK 2025, Jumat (13/12/2024). Apindo usul penerapan UMS 2025 ditunda 

BATAM, TRIBUNBATAM.id - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepulauan Riau (Kepri) mengusulkan agar penerapan Upah Minimum Sektoral (UMS) 2025 ditunda. 

Hal ini karena aturan yang dikeluarkan dalam Permenaker No 16 tahun 2024 terkait upah minimum sektoral dinilai masih belum jelas dan berpotensi memberatkan dunia usaha.

Ketua Apindo Kepri, Stanly Rocky mengatakan, kebijakan UMS perlu dikaji lebih mendalam agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi perusahaan maupun pekerja. 

"Aturan UMSK saat ini kurang jelas, terutama kriteria yang menentukan pekerjaan berat atau spesialisasi," ujar Stanly Rocky, Minggu (15/12/2024).

Baca juga: Sikap Apindo Batam Soal UMK dan UMSK 2025, Minta Tunda Pembahasan Upah Minimum Sektoral

Menurutnya, definisi pekerjaan berat harus dijelaskan secara rinci. 

Apakah hanya berdasarkan fisik seperti tukang yang mengangkat beban berat, atau juga mencakup pekerjaan spesialis seperti welder di shipyard.

"Jika UMSK diterapkan tanpa kajian, itu bisa memberatkan perusahaan," tambahnya. 

Apalagi, perusahaan besar dengan ribuan pekerja harus mengeluarkan biaya signifikan jika ada kenaikan kecil sekalipun.

Stanly juga menuturkan untuk kenaikan upah, meski terlihat kecil, bisa berdampak besar pada biaya operasional. 

Sebagai contoh, kenaikan Rp50.000 per pekerja di perusahaan dengan 5.000 karyawan akan menambah beban hingga Rp250 juta per bulan.

"Bayangkan, kenaikan totalnya bisa mencapai miliaran rupiah setiap tahun. Ini baru dari kenaikan upah, belum termasuk biaya lainnya," katanya.

Hal ini dinilai akan memaksa perusahaan untuk melakukan efisiensi, seperti mengurangi jumlah karyawan atau beralih ke penggunaan robot.

Selain dampak internal, Apindo juga menyinggung persaingan investasi yang semakin ketat, terutama dengan Vietnam. 

"Vietnam diumumin beberapa hari kemarin, PPN mereka diturunin dari 10 persen turun menjadi 8 persen. Di sisi lain, PPN di Indonesia justru naik menjadi 12 persen tahun depan. Bagaimana kita bisa bersaing?," terangnya.

Baca juga: Apindo Kepri Sebut UMK Naik 6,5 Persen sudah Sangat Berat Bagi Pengusaha, Jangan Naik Lagi

Vietnam berhasil menarik perhatian investor besar seperti Samsung, Apple, hingga Nvidia.

Padahal awalnya investor mempertimbangkan Indonesia sebagai lokasi investasi.

Menurut Apindo, kebijakan seperti UMSK dapat menambah beban perusahaan yang sudah berjuang menghadapi persaingan global.

"Kami berharap pemerintah memberikan kepastian hukum terkait kebijakan upah minimum, yang sering berubah setiap tahun," paparnya.

Perubahan ini dianggap menyulitkan perusahaan dalam menyusun perencanaan bisnis jangka panjang.

"Bisnis planning biasanya dibuat untuk lima tahun ke depan. Kalau aturan berubah setiap tahun, sulit bagi perusahaan untuk bertahan," katanya.

Apindo juga berharap pemerintah lebih realistis dalam mengelola kebijakan di tengah situasi ekonomi yang sulit dan dapat memicu efek domino. 

Selain berisiko memengaruhi lapangan kerja, kebijakan ini juga dapat mengurangi daya saing Indonesia sebagai tujuan investasi.

"Jika kondisi seperti ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin investor akan terus memilih negara lain," tutupnya.

Kajian dan kepastian hukum menjadi kunci agar dunia usaha tetap bertahan di tengah tantangan global. (Tribunbatam.id/Ucik Suwaibah)

Baca juga Berita TribunBatam.id lainnya di Google News

Sumber: Tribun Batam
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved