Diketahui, Aan serta ribuan konsumen lainnya menjadi korban dugaan kaveling bodong yang dikelola oleh PT PMB.
Lahan yang diduga milik perusahaan itu ternyata memiliki status sebagai hutan lindung. Hal ini berdasarkan informasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia.
Terpisah, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) memastikan kasus ini memenuhi unsur pidana. Seperti penuturan Ketua Komisi Advokasi BPKN Republik Indonesia, Rizal E. Halim.
"Ini jelas pidana. Pelanggaran UU Konsumen dan kehutanan," ungkapnya kepada Tribun Batam.
Sedangkan saat ditanyakan perihal kerugian materil ribuan konsumen PT. PMB, Rizal hanya menyebut hal itu merupakan tanggung jawab pihak perusahaan.
"Nanti kita lihat bagaimana. Sekarang semua sedang dipersiapkan," sambungnya.
Beberapa kali Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi I DPRD Kota Batam telah digelar perihal dugaan kasus kaveling bodong ini.
Namun, beberapa kali juga beberapa konsumen kecewa sebab tak ada langkah tegas untuk pihak terkait menindak Direktur PT PMB yang juga memiliki wewenang dalam menyelesaikan permasalahan kerugian konsumen.
Sementara itu, mimpi Sukardi untuk dapat memiliki rumah pribadi harus pupus. Ini terjadi setelah legalitas lahan milik PT. Prima Makmur Batam (PMB) bermasalah dengan hukum.
Pria yang kesehariannya bekerja sebagai buruh kasar itu pun mengaku sangat kecewa. Apalagi ia telah merogoh kocek pribadinya dengan jumlah cukup besar.
"Sama istri akhirnya sepakat untuk beli lahan di sana untuk dibangun rumah, dan uangnya bagi kami tidak sedikit bang. Total hampir Rp 20 juta," katanya kepada Tribun.
Sukardi menceritakan, mulanya ia diajak oleh rekan seprofesinya untuk bersama-sama membeli lahan yang terletak di Kaveling Punggur, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, itu. Ia tertarik akibat harga murah yang ditawarkan oleh pihak perusahaan.
"Kami hanya wong cilik (orang kecil), ada lahan murah ya tertarik," sambungnya sambil menjelaskan jika telah terbeli, lahan itu akan dibangunnya rumah tanpa harus menyewa tukang.
Ia mengatakan sebagai buruh kasar, ia tak perlu lagi repot-repot untuk membangun rumah dengan mengeluarkan biaya yang besar.
"Kan kita kuli bang. Jadi memang sudah direncanakan, karena kalau dikasih tukang ada biaya lagi," keluhnya.