Salah satu fakta yang membuktikan film itu cacat fakta, adalah adegan penyiksaan para jenderal sebelum dibuang ke dalam Lubang Buaya.
Hal itu dianggap tidak benar dan hanya rekayasa yang dibuat oleh sutradara Arifin C.Noer agar lebih dramatis.
Menurutnya, menjadikan peristiwa kelam yang terjadi pada 1965 sebagai pelajaran sejarah dianggap baik.
Hanya saja, ia meminta jangan sampai propaganda yang dilakukan saat ini justru dapat mewariskan dendam masa lalu pada generasi selanjutnya.
Pasalnya, konflik saat itu sebenarnya terjadi akibat dari adanya gesekan antar kelompok politik.
"Yang mengerikan itu hendak diwariskan pada semuanya yang tidak berkaitan dengan masalah itu. Jadi jangan wariskan dendam," ujarnya.
Meski film tersebut tidak obyektif, namun Sri Margana menilai masyarakat saat ini sudah cerdas dan bisa menyaring mana yang benar dan salah.
Terlebih lagi, sudah banyak fakta baru terkait peristiwa yang terjadi pada Gerakan 30 September 1965 tersebut.
"Masyarakat saat ini sudah cerdas. Sudah banyak beredar fakta-fakta baru terkait Pemberontakan G30S/PKI sehingga orang bisa membuat penilaian mana yang benar dan tidak di film itu," ujarnya.
Sementara terkait dengan sikap pemerintah yang tidak melarang atau mewajibkan masyarakat menonton film itu, kata Sri, juga dinilai sudah tepat.
Terlebih lagi, film tersebut dianggap masih kontroversi dan tidak menggambarkan realitas secara utuh pada masa itu.
"Kalau sampai diwajibkan maupun dilarang nonton, itu tidak benar," ujarnya.
Film itu, lanjut dia, memperlihatkan kekejaman PKI dalam peristiwa yang mengubah garis sejarah Indonesia tersebut.
Jika itu dijadikan sebagai tontonan yang wajib, rasanya tidak tepat. (*)
SUBSCRIBE CHANEL YOUTUBE__TRIBUN BATAM.id:
Artikel ini telah tayang di Kompas.com: https://regional.kompas.com/read/2020/10/01/07263511/sejarawan-ugm-tanggapi-kontroversi-penyiksaan-para-jenderal-di-film-g30s-pki?page=all#page2