TRIBUNBATAM.id - Dugaan malaadministrasi ditemukan pada pelaksanaan pelayanan kepesertaan dan penjaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan.
Temuan itu diungkapkan Ombudsman RI yang membagi temuannya menjadi beberapa bagian hasil dari investigasi tim.
Pelaksanaan dan pengumpulan data informasi investigasi berlangsung bulan Oktober-November 2021, dengan total partisipan penelitian dari 11 kantor wilayah dan 12 Kantor Cabang BPJS Ketenagakerjaan.
Anggota Ombudsman RI Hery Susanto menyebut temuan itu atas investigasi atas prakarsa sendiri (IAPS).
"Kami menyimpulkan dalam pelaksanaan kepesertaan ini terbukti ada malaadministrasi berupa tidak kompeten, penyimpangan prosedur dan adanya penundaan berlarut dalam proses pembayaran klaim BPJS Ketenagakerjaan," kata Hery di Kantor Ombudsman RI, Kuningan, Jakarta, Rabu (6/7/2022).
Hery menuturkan, tindakan tidak kompeten itu antara lain, BPJS Ketenagakerjaan tidak optimal dalam mengakuisisi kepesertaan baik pada Pekerja Penerima Upah (PPU), maupun Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).
Baca juga: Syarat dan Cara Terbaru Mencairkan Sebagian Saldo JHT BPJS Ketenagakerjaan
Baca juga: Simak Syaratnya Cairkan Saldo JHT BPJS Ketenagakerjaan 2022
Lalu, lemah dalam pengawasan kepatuhan terhadap perusahaan, tidak optimal dalam mengawal pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2021, kurangnya program sosialisasi dan edukasi kepada peserta dan masyarakat, serta sumber daya manusia (SDM) pelayanan yang kurang optimal.
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bagi pegawai non-ASN (Aparatur Sipil Negara) yang bekerja di instansi pemerintahan perlu menjadi peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan.
Instruksi presiden ini, kata Hery, perlu penyelarasan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2015 yang terdapat pengaturan tentang pembatasan kepesertaan, yaitu pengatur kepesertaan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara negara.
"Hal tersebut berpotensi terjadi tindakan malaadministrasi berupa penyimpangan prosedur oleh penyelenggara negara dan BPJS Ketenagakerjaan bila Inpres tersebut menjadi dasar akuisisi kepesertaan bagi non-ASN yang bekerja pada instansi pemerintah," beber Hery.
Sementara itu, malaadministrasi penyimpangan prosedur meliputi tidak ada akuntabilitas oleh BPJS Ketenagakerjaan kepada agen perisai, pencairan klaim secara kolektif melalui HRD perusahaan, perbedaan penetapan usia pensiun antara perusahaan dan BPJS, serta tidak dilakukan upaya penyelarasan regulasi untuk optimalisasi akuisisi perusahaan.
Menurut Hery, klaim kolektif melalui HRD perusahaan tidak benar dilakukan. Sebab hubungan kepesertaan adalah antara BPJS Ketenagakerjaan dengan peserta atau pekerja.
Baca juga: Begini Cara Bayar Iuran BPJS Ketenagakerjaan di Indomaret dan Alfamart
Baca juga: Bupati Lingga Targetkan Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan Meningkat
"Jadi proses klaim seharusnya dilakukan oleh kedua belah pihak. Tidak benar klaim kolektif yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Dalam hal pembayaran (iuran), perusahaan berhubungan langsung (dengan BPJS), tapi dalam hal klaim ini urusannya adalah peserta," ungkap Hery.
Diulansir dari kompas.com, bentuk maladmimistrasi lainnya yang ditemukan Ombudsman adalah penundaan berlarut.
Klaim Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Kematian (JKM) kerap menemui hambatan. Atas temuan itu, Ombudsman melaporkan tiga pihak, yaitu Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Ali Ghufron Mukti, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Ketua DJSN Mickael Bobby.