TRIBUNBATAM.id, BATAM – Laut yang biasanya menjadi sumber penghidupan, berubah jadi arena perjuangan hidup dan mati bagi Dedi Marbun alias Topak.
Hampir tujuh jam mengapung di tengah laut, Dedi bukan hanya bertarung untuk nyawanya sendiri ia mempertaruhkan segalanya untuk menyelamatkan anak-anak yang ikut bersamanya.
Tubuhnya kini lemah, kakinya masih kram, langkahnya tertatih. Tapi dari wajahnya, masih menyala semangat hidup dan rasa syukur mendalam.
“Kalau saya lepas pegangan, anak-anak ini gak bisa nafas,” ujar Dedi, pelan namun penuh makna, di sebuah warung kecil dekat rumahnya, Kamis (26/6/2025).
Misi Sepakbola yang Berubah Jadi Mimpi Buruk
Hari itu seharusnya menjadi hari yang menyenangkan. Dedi dan tim berangkat dari Selat Nenek menuju Setokok untuk mengikuti turnamen sepakbola. Kapal kecil mereka memuat 13 orang 8 pemain, 3 penonton, dan sisanya tim.
“Mereka mau ikut nonton, gak tega juga nolak. Orang pulau, kalau ada yang pergi ya bareng-bareng,” ucap Dedi.
Namun, pukul 13.50 WIB, mesin speedboat mereka mati saat berada di perairan dekat Pulau Setokok.
Beberapa menit kemudian, air masuk dari belakang, dan kapal itu perlahan tenggelam secara vertikal. Mesin langsung karam, dan kepanikan menyelimuti semua yang ada di dalam.
“Semua terpencar. Saya cuma sempat lihat enam orang di sekitar saya. Speedboat itu gak ngambang.
Saya bolak-balik nyelem, saya angkat-angkat supaya mereka bisa pegangan,” tuturnya dengan suara berat.
Menjadi Tumpuan di Tengah Lautan
Dedi tak ingat berapa kali ia menyelam, tapi ia tahu satu hal, jika ia menyerah, maka Damar dan Maher dua pelajar yang bersamanya tak punya harapan hidup. Dengan sisa tenaga, ia terus mengangkat bagian kapal yang masih bisa dijadikan pelampung.
“Kalau saya berhenti, mereka tenggelam. Saya gak bisa biarkan itu terjadi,” ujarnya lirih.
Di sekitarnya ada juga Amirul, seorang dewasa lain, yang ikut bertahan di tengah ganasnya laut. Arus perlahan mendorong mereka mendekati tepi. Saat dirasa cukup dekat, Dedi mendorong mereka berenang lebih dulu.