Beda Surat Syafii Maarif dan Budi Hartono ke Jokowi, Buya: Batin Saya Menjerit Pak Presiden
Syafii Maarif dan Bos Djarum Budi Hartono mengirim surat kepada Presiden Jokowi penanganan Covid-19
Adapun pesan tersebut juga dibagikan di akun Twitter yang dikelola para penggemar Buya Maarif, @SerambiBuya.
Sebelumnya, keresahan Buya Maarif tersebut juga pernah disampaikannya dalam sebuah acara.
"Apakah memang harus begitu? Atau memang kita kurang mempersiapkan dengan alat pelindung diri (APD)?" ujar Maarif dalam acara doa bersama Bersama dan Hening Cipta untuk Keselamatan Dokter Indonesia secara daring, Rabu (2/9/2020) malam.
Oleh karena itu, ia meminta agar kondisi para dokter dan tenaga medis di negara lain pun dilihat di tengah pandemi Covid-19 seperti saat ini.
Jika di negara lain tak banyak tenaga medis yang gugur, menurut dia, ini ada yang salah di Indonesia sehingga perlu diperbaiki.
"Mungkin dilihat negara lain. Kalau negara lain juga begitu, berarti memang ini dilema, tidak perlu kita menyesali," kata dia.
"Tapi kalau negara lain tenaga dokternya yang meninggal tidak banyak dan kita banyak, berarti itu ada yang salah pada kita. Ada sesuatu keliru yang harus diperbaiki," ucap Maarif.
Keberatan Budi Hartono

Pengusaha sekaligus orang terkaya di Indonesia, Budi Hartono, mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Surat Budi Hartono yang ditujukan kepada Kepala Negara ini diunggah oleh pengusaha sekaligus Mantan duta besar Indonesia untuk Polandia, Peter F Gontha lewat akun Instagram-nya, @petergontha, Sabtu (12/9/2020).
"Surat Budi Hartono orang terkaya di Indonesia kepada Presiden RI, September 2020," tulis Peter Gontha dalam postingannya.
Dalam surat tersebut, Budi Hartono menyatakan tidak sepakat dengan penerapan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta.
Diketahui, DKI Jakarta rencananya akan kembali melakukan PSBB ketat seperti pada awal pandemi mulai Senin (14/9/2020).

Budi Hartono memiliki dua alasan utama kenapa tidak menyetujui rencana PSBB di Jakarta.
Menurutnya, PSBB yang pernah dilaksanakan di Jakarta sebelumnya, terbukti tidak efektif dalam menurunkan tingkat pertumbuhan infeksi.