HUMAN INTEREST
KISAH Anggie, Polwan Batam Saat Jadi Pasukan Garuda di Afrika, 1,3 Tahun Hidup Bersama Pemberontak
Anggie merupakan seorang anggota Polri di Polsek Kawasan Khusus Pelabuhan Polresta Barelang Batam yang terpilih jadi pasukan Perdamaian PBB.
Penulis: Beres Lumbantobing |
"Saat pemberangkatan pasukan itu penuh rasa haru dan sedih. Bayangin kita harus meninggalkan keluarga, ibu ayah dan adik. Bahkan bagi mereka yang sudah berkeluarga harus meninggalkan anak dan istri denga waktu yang cukup lama. Dan dalam penugasan tidak ada jaminan setiap pasukan garuda harus selamat pulang ke tanah air," katanya.
Walau mengaku sedih, namun dengan tekad dan semangat penugasan Anggie bersyukur ibunya selalu mendukung dan memberikan doa.
"Saya bersama pasukan pun akhirnya berangkat dari Jakarta. Dalam perjalanan kita melakukan transit sebanyak dua kali, yaitu di Bandara Internasional Mumbai India dan Bandara Internasional Addis Ababa Ethiopia hingga akhir tiba lokasi misi penugasan di Bandara Internasional M’Poko, Bangui, Republik Afrika Tengah," katanya.

Ternyata, kata Anggie, negara ini seperti yang sering kita saksikan di televisi yang sering perang, tanah gersang dan suhu udaranya panas.
"180 derajat berbeda dari kehidupan kita di Indonesia," kata Anggie singkat.
Cuacanya tropis, suhu udara waktu itu sampai 40 derajat celcius.
"Awalnya saya juga kaget tiba di sana, waktu kita sampai di sana saat itu ada pemberontakan dan perang antar saudara sesama warga negara mereka. Dan yang paling mengagetkan saya kehidupan masyarakat di sana penuh dengan senjata. Bahkan anak-anak yang masih kecil berjalan keluar rumah itu sudah pegang senjata," katanya.
Dia bahkan sempat berpikir, kalau anak ini lepas kendali lalu peluru senjata nyasar kemana-mana bisa tewas.
Tidak hanya itu, warga Afrika Tengah termasuk orang yang sulit menerima pendatang.
"Di suatu waktu saya mengabadikan momen foto, saya memotret lalu mereka lihat, mereka langsung marah dan berontak minta dihapus. Tindakan mereka langsung refresif. Mereka sangat anti dengan lensa kamera. Nah itu baru pengalaman hari pertama, sementara saya melewati penugasan 1,3 tahun lamanya. Sangat banyak lah bang," ujarnya Anggie.
Waktu tak terasa, perbincangan Tribun Batam bersama Anggie sudah 90 menit. Dahaga mulai terasa haus, Anggie pun siang itu memesan segelas air putih hangat.
Sementara wawancara terus berlanjut, tepat di samping Anggie sang ibunda terus mendengarkan kisah sang anaknya.
Anggie mengakui, warga negara kota Bangui Negara Afrika Tengah sulit diajak berdialog. Selain mereka anti dengan pendatang orang juga terkendala bahasa saat akan berkomunikasi dengan mereka.
Bahasa yang dominan digunakan di sana itu bahasa Prancis, namun tidak semua warga Afrika Tengah ini mengerti bahasa Prancis, mereka lebih dominan menguasai bahasa lokal mereka.
Kehidupan masyarakat disana jauh dari kata kehidupan layak. Makannya terancam, air bersih sulit didapat, penerangan minim dan terbatas ditambah angka penyakit tinggi.
"Jadi selama di sana saya selalu membangun dialog bersama anak-anak kecil, para ib-ibu. Mereka itu sangat antusias menyambut kita, hanya saja ada kelompok-kelompok pemberontak yang kerap melakukan pembantaian. Perang perbedaan, agama menjadi sala satu faktor utama pemicunya," ujar Anggie.
Anggie mengaku dalam hatinya kasihan melihat anak-anak sulit mendapat makan, badannya kurus, kerempeng dan kadang tidak terlalu diperhatikan.
"Kita ini kan pasukan penjaga perdamaian, tugas kita menjaga perdamaiaan di negara ini. Kita memiliki tanggungjawab internasional untuk memastikan stabilitas keamanan di negara rawan konflik pembrontakan dapat tetap terkendali," kata Anggie.
Jadi yang mereka lakukan di sana itu, patroli dan patroli. Setiap hari mereka turun operasi pengamanan ketika ada terjadi pemberontakan dan pembantaian.
Karena di sana ada kelompok pemberontak, lengkap dengan susunan personil hingga pimpinannya.
"Untuk menjaga diri, setiap kita keluar dari markas camp kita wajib mengenakan rompi dan wajib senjata serta lengkap dengan peluru. Misi kita menjaga perdamaian dan menjamin stabilitas keamanan negara rawan konflik ini. Jadi Alhamdulliah selama 1,3 tahun bertugas tidak pernah menembak dan membunuh warga," sebutnya.
Anggi mengatakan pihaknya sering dicibir dan diledek oleh warga negara Afrika ketika setiap petugas yang melakukan patroli.
Namun kita harus selalu sabar dan memberikan pemahaman kepada mereka.
Anggie mengakui banyak kisah menarik di sana, mulai dari kami tidur satu tenda 14 orang, listrik susah, sinyal pun sulit ditambah penyakit malaria tinggi.
Disana itu, kata Anggie yang kerap membuatnya menangis saat di kala ia rindu bersama sang ibunda.
Bukan tanpa alasan, Anggi merupakan anak cewek paling sulung dari dua bersaudara.
"Kadang di sana itu sulit sinyal, harga paket kuota mahal. 10 Gb harga 300 ribu, kadang ini hanya satu minggu," kata Anggie.
Peliknya perjuangan banyak dirasakan Anggie selama bertugas di Kota Nagui Afrika Tengah itu.
Bahkan Anggie pernah terseang penyakit malaria dua kali.
Akibatnya Anggie harus minum obat dua kali satu minggu.
Selain itu, permasalahan air untuk mandi terbengkalai lantaran kesulitan air, kalau pun ada kadang harus nimba.
Udara di sana cukup panas, hingga 40 derajat celcius.
Apalagi sebagai wanita, dia dituntut harus mampu bertahan dalam kondisi apapun, mau itu buang air kecil dan buang air besar.
Dalam misi pernah buang air kecil harus membentuk formasi melingkar oleh timnya lalu ia 'pipis' di tengah lingkaran.
Komplit lah cerita disana, Alhamdulliah sudah kembali ke tanah air saat ini.
"Sudah ketemu bang Beres, langsung diwawancara," kata Anggie.
Pulang penugasan baru dua minggu lalu, kini masih menunggu panggilan menghadap dan akan segera kembali berdinas.
Atas perjuangan Anggi, ia pun akhirnya menerima penghargaan satya lancana bhakti buana. (Tribunbatam.id/Beres Lumbantobing)