BERITA CHINA

Taipan China Kehilangan Hartanya Hingga Ratusan Triliun Rupiah, Apa yang Terjadi?

Sejumlah taipan China kehilangan hartanya di tahun 2021 ini hingga triliunan Rupiah. Apa yang sebenarnya terjadi?

KOMPAS
Sejumlah taipan China dilaporkan kehilangan hartanya hingga triliunan Rupiah selama 2021. Apa yang sebenarnya terjadi? FOTO Shanghai Shipyard Riverside Park, China. 

TRIBUNBATAM.id - Sejumlah bos properti di China kehilangan kekayaannya di tahun 2021.

Bahkan bos developer terbesar di China, Evergande Hui Ka Yan dilaporkan kehilangan lebih dari US$ 46 miliar atau sekitar Rp 611,8 triliun sepanjang tahun ini.

Para taipan real estate China mengalami tahun terburuk mereka setidaknya sejak 2012 karena pemerintah menindak pesta utang perusahaan dan Presiden Xi Jinping ingin mendistribusikan kembali kekayaan untuk membawa kemakmuran bersama.

Hui Ka yan sebelumnya pernah dinobatkan menjadi orang terkaya kedua di Asia dan 500 orang berpengaruh di dunia dengan kekayaan sekitar US$ 42 miliar.

Bloomberg Billionaires Index melaporkan kekayaan Hui sekarang hanya bernilai US$ 6,1 miliar karena saham unit kerajaan bisnisnya telah jatuh.

Baca juga: China Tetap Lirik Indonesia Buat Investasi, Menko Luhut: Sampai Gak Dapat Hotel

Baca juga: China Gusar, Minta Amerika Serikat dan Inggris Berhenti Ganggu Urusan Negaranya

Pemerintah juga mendesaknya untuk menggunakan kekayaan pribadinya untuk membantu membayar kembali investor.

Gubernur bank sentral China pada awal bulan ini mengatakan jika gejolak Evergrande harus ditangani oleh pasar.

Kondisi ini menandakan bahwa Beijing tidak akan menyelamatkan pengembang yang paling berutang di dunia karena berjuang dengan kewajiban lebih dari $300 miliar.

China telah berusaha menstabilkan ekonominya, yang sektor perumahannya menyumbang sekitar seperempat dari produk domestik bruto.

Pengenalan aturan pembiayaan baru tahun lalu untuk mencegah gelembung perumahan telah menyebabkan masalah bagi para pengembang setelah bertahun-tahun mengandalkan leverage untuk pertumbuhan.

Sejak itu, harga rumah turun, bank menjadi lebih enggan untuk meminjamkan dan investor semakin skeptis terhadap perusahaan.

Hasilnya, sekitar 15 perusahaan real estate telah gagal membayar obligasi korporasi mereka pada tahun 2021 dan pemilik pengembang China telah mengerahkan setidaknya US$ 3,8 miliar aset mereka sendiri untuk membantu membayar utang.

Pembeli rumah dibiarkan dalam keadaan bingung tanpa mengetahui kapan rumah yang telah mereka bayar sebagian akan selesai.

Baca juga: China Gak ada Lawan? Sederet Alasan Mengapa Banyak Produk Made in China

Baca juga: BUMN China Indonesia Bangun Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung di Tengah Risiko Utang

Adapun taipan yang telah kehilangan gelar sebagai milliader di antaranya pemilik Kaisa Group Holdings Ltd yang telah kehilangan kekayaan hampir 90% tahun ini menjadi sekitar US$ 160 juta.

Kemudian Zhang Yuanlin dari Sinic Holdings Group Co yang sahamnya telah anjlok 75%.

"Sektor real estate di China telah tumbuh sangat cepat selama 2 dekade terakhir berkat ekspansi agresif melalui leverage yang tinggi, meningkatkan kekayaan di negara ini," kata Terence Chong, profesor ekonomi di Universitas China Hong Kong seperti diberitakan Kontan.co.id, Jumat (17/12/2021).

Sektor properti dipastikan akan melambat dengan penyaluran kredit yang lebih rendah dari bank.

Menurut Chong, China sedang mengubah dan meningkatkan ekonominya.

Properti akan jadi sektor yang kurang mainstream di masa depan.

Gejolak juga melanda salah satu perusahaan yang dianggap sebagai salah satu pemain kuat di industri, Shimao Group Holdings Ltd Obligasi dan sahamnya telah jatuh di tengah kekhawatiran menghadapi krisis uang tunai.

Sementara kesepakatan antara dua unitnya menimbulkan kekhawatiran atas tata kelola perusahaannya.

Bagi pendiri perusahaan Hui Wing Mau, yang memulai investasi real estate pada akhir 1980-an, kekayaannya berkurang lebih dari setengahnya tahun ini, turun US$ 5,2 miliar menjadi US$ 4,4 miliar.

SAHAM Perusahaan AS Ikutan Rontok

Tidak hanya China, perusahaan Amerika Serikat (AS) diketahui ikut rontok.

Baca juga: China Punya Jebakan Utang Bikin Inggris Waspada, Indonesia Bagaimana?

Baca juga: China Meradang, Sejumlah Negara Ikut Amerika Serikat Boikot Olimpiade Beijing 2022

Dampak covid-19 varian Omicron diketahui menjadi salah satu sebabnya.

Saham sejumlah perusahaan teknologi negara adidaya ini rontok di tengah kekhawatiran akan penyebaran covid-19 varian B.1.1.529 ini.

Selain itu gugurnya sejumlah saham perusahaan teknologi asal Amerika Serikat dan China ini dipicu adanya sinyal dari The Fed untuk mempercepat penatikan stimulusnya.

Sinyal aneh dari The Fed membuat investor bersiap untuk kenaikan suku bunga yang akan paling mempengaruhi beberapa saham paling bernilai.

Penurunan itu juga didorong oleh rencana Raksasa ride-hailing China, Didi, untuk keluar dari bursa New York Stock Exchange atau delisting.

Anjloknya saham-saham teknologi ini telah memukul pencapaian tertinggi pasar saham Wall Street saat ini.

Tesla Inc, Netflix Inc, Nvidia Corp, Amazon.com Inc, dan pemilik Facebook yakni Meta Plaform Inc telah merosot lebih dari 10% dalam beberapa minggu terakhir yang berimbas pada penurunan kapitalisasi pasar mereka hingga beberapa ratus miliar.

Baca juga: Cadangan Migas Laut Natuna Utara yang Diklaim China, Singapura Sempat Dibuat Pusing

Baca juga: China Buat AS hingga Inggris Cemas, Kembangkan Senjata Mematikan sampai Kecerdasan Buatan

Meta saja telah kehilangan kapitalisasi pasar sebesar US$ 224 miliar seham sahamnya mencapai rekor pada September lalu karena sahamnya anjlok hampir 20%.

Aksi jual meningkat pada Jumat lalu, membuat NYSE FANG+ atau indeks yang mencakup saham raksasa industri teknologi turun 10% dari puncaknya.

Itu merupakan pertanda tidak baik menjelang akhir tahun, musim perdagangan saham yang paling tidak likuid.

Bahkan Nvidia yang termasuk sebagai emiten berkinerja terbaik di bursa saham AS tahun ini tidak lepas dari pukulan dengan terkoreksi 4,5% akhir pekan lalu.

Tesla jatuh 6,4% pada Jumat, Adobe Inc turun 8,2% dan Apple Inc turun 1,2%.

Sedangkan Salesforce.com Inc turun hampir 12% pada hari Rabu lalu.

"Ini telah mendorong koreksi saham-saham dengan valuasi tertinggi, ekspektasi pertumbuhan, dan kebutuhan akan pendanaan pasar ekuitas," kata Ben Laidler, Ahli Strategi Pasar Global di eToro seperti dikutip dari Bloomberg, Minggu (5/12).

Anjloknya saham Tesla dan Nvidia sangat membebani Indeks S&P 500 dan Nasdaq 100.

Pergerakan saham perusahaan yang tidak menghasilkan keuntungan bahkan lebih buruk.

Baca juga: China Tunjukkan Taji, Hukum Negara Eropa Ini Buntut Dukung Taiwan

Baca juga: China Bahkan Amerika Serikat Mengaku Rugi!, Ini Daftar Negara Merana Gegara Kereta Cepat

Rivian Automotive Inc turun sekitar 40% dari harga tertinggi sepanjang masa.

Indeks Bioteknologi Nasdaq jatuh ke level terendah sejak tahun lalu pada hari Jumat dan berada di jalur untuk mengakhiri 2021 lebih rendah.

Alibaba Group Holding Ltd. dan Baidu Inc anjlok karena regulator AS semakin dekat dengan delisting perusahaan-perusahaan China, membuat indeks NYSE FANG+ semakin terpuruk.

Alibaba jatuh 8,2% pada hari Jumat, sementara Baidu merosot 7,8%. Tesla Inc.

Pada Jumat lalu, Didi mengatakan berencana untuk delisting dari New York Stock Exchange dan bersiap untuk listing di Hong Kong.

Padahal, baru lima bulan lalu perusahaan ini melakukan IPO di AS dengan mengumpulkan US$4,4 miliar.

Di tengah hingar bingar pasca IPO, pengawas keamanan siber China membidik perusahaan ini dengan meluncurkan penyelidikan atas masalah keamanan data.

Didi juga berada di tengah-tengah ketegangan yang terjadi antara pemerintah AS dan China.

Posisinya semakin terhimpit dalam beberapa hari terakhir.

Baca juga: China Beri Peringatan Keras ke Australia, Jangan Sampai terjadi Kiamat Setelah Bela Taiwan

Baca juga: China Penghasil Mecin Terbesar, Penuhi Setengah Kebutuhan Dunia

Komisi Sekuritas dan Bursa bergerak untuk menyelesaikan rencana pada hari Kamis untuk meminta perusahaan asing yang terdaftar di AS untuk sepenuhnya membuka pembukuan mereka untuk diperiksa.

Perusahaan-perusahaan itu dapat dihapus dari daftar jika otoritas AS tidak diizinkan mengakses audit selama tiga tahun berturut-turut.

Ada juga lebih banyak tekanan yang datang dari regulator China, yang dilaporkan berencana untuk melarang perusahaan go public di bursa asing melalui struktur entitas kepentingan variabel yang kontroversial seperti yang dilakukan Alibaba, JD.com, NIO, dan XPeng untuk IPO di AS.(TribunBatam.id) (Kontan.co.id/Dina Mirayanti Hutauruk)

Baca juga Berita Tribun Batam lainnya di Google

Berita Tentang China

Sumber: Kontan.co.id

Sumber: Kontan
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved