Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono yang Romantis: Hari yang Paling Dinanti Hingga Hujan Bulan Juni
Puisi Pada Suatu Hari Nanti seperti wasiat bagi dirinya jika suatu hari nanti pergi / meninggal dunia, maka orang akan mengingat dirinya lewat puisi
Penulis: Mairi Nandarson | Editor: Mairi Nandarson
mencintai gunung
harus menjadi terjal
mencintai api
harus menjadi jilat
mencintai cakrawala
harus menebas jarak
mencintai-Mu
harus menjelma aku
Sapardi juga dengan baik menjelmakan maksud hati untuk menyatakan “hanya aku yang bisa mencintaimu” dengan analogi-analogi yang begitu cantik sebagai pengantarnya.
Beberapa dari kalian mungkin masih asing dengan puisi ini. Puisi berdialog dengan judul Menjenguk Wajah di Kolam lahir bersamaan dengan 14 puisi lainnya dalam buku kumpulan puisi yang baru saja terbit Oktober 2018 ini, yaitu Perihal Gendis.
Menjenguk Wajah di Kolam
“Jangan kauulang lagi
menjenguk
wajah yang merasa
sia-sia, yang putih
yang pasi
itu.
Jangan sekali-
kali membayangkan
Wajahmu sebagai
rembulan.
Ingat,
jangan sekali-
kali. Jangan.
Baik, Tuan.”
Jadi Dosen
Masa mudanya dihabiskan di Surakarta (lulus SMP Negeri 2 Surakarta tahun 1955 dan SMA Negeri 2 Surakarta tahun 1958).
Pada masa ini, SDD sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah.
Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang Bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tahun 1973, SDD pindah dari Semarang ke Jakarta untuk menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah sastra Horison.
Sejak tahun 1974, ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, tetapi kini telah pensiun.
SDD pernah menjabat sebagai dekan FIB UI periode 1995-1999 dan menjadi guru besar.
Pada masa tersebut, SDD juga menjadi redaktur majalah Horison, Basis, Kalam, Pembinaan Bahasa Indonesia, Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, dan country editor majalah Tenggara di Kuala Lumpur.
Saat ini SDD aktif mengajar di Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta sambil tetap menulis fiksi maupun nonfiksi.
Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan.
Pada tahun 1986, SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award.
Ia juga penerima penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar.
Ia menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri.
Sajak-sajak Sapardi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah.
Ia tidak saja aktif menulis puisi, tetapi juga cerita pendek.
Selain itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esai, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.
Musikalisasi puisi
Dikutip dari wikipedia, musikalisasi puisi karya SDD dimulai pada tahun 1987 ketika beberapa mahasiswanya membantu program Pusat Bahasa, membuat musikalisasi puisi karya beberapa penyair Indonesia.
Kegiatan tersebut sebagai upaya mengapresiasikan sastra kepada siswa SLTA.
Saat itulah tercipta musikalisasi Aku Ingin oleh Ags Arya Dipayana dan Hujan Bulan Juni oleh Umar Muslim.
Kelak, Aku Ingin diaransemen ulang oleh Dwiki Dharmawan dan menjadi bagian dari soundtrack "Cinta dalam Sepotong Roti (1991), yang dibawakan oleh Ratna Octaviani.
Beberapa tahun kemudian, lahirlah album "Hujan Bulan Juni" (1990) yang seluruhnya merupakan musikalisasi dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono.
Duet Reda Gaudiamo dan Ari Malibu adalah bagian dari sejumlah penyanyi, yang merupakan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Album "Hujan Dalam Komposisi" menyusul dirilis pada tahun 1996 dari komunitas yang sama.
Karena banyaknya permintaan, album "Gadis Kecil" (2006) diprakarsai oleh duet Dua Ibu, yang terdiri atas Reda Gaudiamo dan Tatyana dirilis, lalu dilanjutkan oleh album "Becoming Dew" (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu.
Ananda Sukarlan pada Tahun Baru 2008 juga mengadakan konser kantata "Ars Amatoria" yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi SDD serta karya beberapa penyair lain. (tribunbatam.id/son)