BERITA CHINA

China - AS Saling 'Serang' Buntut KTT Demokrasi, Singgung Senjata Pemusnah Massal

Ketegangan China dengan Amerika Serikat (AS) semakin menjadi saat KTT Demokrasi yang digelar selama dua hari secara virtual di Negeri Paman Sam.

AFP PHOTO/POOL/LINTAO ZHANG
Hubungan China dengan Amerika Serikat (AS) semakin menjadi setelah KTT Demokrasi yang digelar di Negeri Paman Sam. Potret yang diambil pada 4 Desember 2013 memerlihatkan Joe Biden yang saat itu Wakil Presiden Amerika Serikat berjabat tangan dengan Presiden China Xi Jinping di Aula Besar Rakyat di Beijing 

TRIBUNBATAM.id - Perseteruan China dengan Amerika Serikat (AS) semakin menjadi.

Negeri yang dipimpin Xi Jinping itu bahkan berani menyebut demokrasi di Amerika Serikat sebagai senjata pemusnah massal.

China menyampaikan sikap kerasnya itu setelah Negeri Paman Sam menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Demokrasi.

Perseturuan berawal dari dikeluarkannya China dari KTT yang digelar secara virtual selama dua hari itu.

Menyusul sejumlah negara lain termasuk Rusia dan Hongaria.

Baca juga: China Tetap Lirik Indonesia Buat Investasi, Menko Luhut: Sampai Gak Dapat Hotel

Baca juga: Amerika Serikat Desak China Berhenti Buat Masalah di Indo-Pasifik

Perwakilan negara yang marah lantas menuduh Presiden Joe Biden memicu perpecahan ideologis era Perang Dingin.

Ketegangan antara China dan Amerika Serikat ini bukan yang pertama terjadi.

Amerika Serikat bahkan berani memboikot diplomatik Olimpiade Beijing 2022.

Sikap AS ini diikuti sejumlah negara lain seperti Inggris, Kanada dan Australia.

China meradang dengan sikap sejumlah negara itu.

Amerika Serikat juga mengkritik sikap China dalam memuluskan kepentingan nasionalnya.

"Demokrasi sejak lama menjadi 'senjata pemusnah massal' yang digunakan oleh AS untuk mencampuri negara lain," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China dalam pernyataan online dikutip dari AFP.

Kemlu China juga mengklaim KTT itu diselenggarakan oleh AS untuk menarik garis prasangka ideologis, memperalat dan mempersenjatai demokrasi, serta menghasut perpecahan dan konfrontasi.

Baca juga: China Deteksi Kasus Pertama Covid-19 Varian Omicron, Kepri Malah Cetak Rekor

Baca juga: China Kerahkan Pesawat Pengebom di Laut Natuna Utara Hingga Sebar Ranjau Laut

Sebaliknya, Beijing bersumpah dengan tegas menolak dan menentang semua jenis demokrasi semu.

Menjelang KTT, China meningkatkan serangan propaganda yang mengkritik demokrasi AS sebagai korup dan gagal.

China juga menggembar-gemborkan versinya sendiri tentang 'demokrasi rakyat dengan proses menyeluruh' dalam sebuah buku yang dirilis minggu lalu untuk menopang legitimasi Partai Komunis, yang menjadi semakin otoriter di bawah Presiden Xi Jinping.

Meski AS berulang kali membantah akan ada Perang Dingin lagi dengan China, ketegangan antara dua negara perekonomian terbesar dunia itu meningkat dalam beberapa tahun terakhir, karena masalah-masalah termasuk perdagangan dan persaingan teknologi, hak asasi manusia, Xinjiang dan Taiwan.

Taiwan menuduh China mengincar sekutu diplomatiknya karena dikeluarkan dari KTT Demokrasi di AS.

Kementerian Keuangan AS pada Jumat (10/11/2021) menjatuhkan sanksi kepada dua pejabat tinggi China atas pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Xinjiang.

Baca juga: China Meradang, Sejumlah Negara Ikut Amerika Serikat Boikot Olimpiade Beijing 2022

Baca juga: BUMN China Indonesia Bangun Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung di Tengah Risiko Utang

Serta memblacklist perusahaan pengawasan AI China SenseTime atas pembuatan teknologi pengenalan wajah yang menargetkan minoritas Uighur.

China sebelumnya juga ngotot jika Taiwan merupakan wilayahnya.

Beijing mendapat sokongan di tengah-tengah KTT Biden ketika Nikaragua membatalkan aliansi diplomatik sebelumnya dengan Taiwan sertamengatakan bahwa mereka hanya mengakui China.

Pengumuman itu membuat Taiwan hanya memiliki 14 sekutu diplomatik.

Kementerian Luar Negeri AS meminta semua negara yang menghargai institusi demokrasi untuk memperluas keterlibatan dengan pulau itu.

SIKAP Keras AS dan Sekutu

Langkah China untuk mendominasi dunia sebelumnya mulai dirasakan dampaknya pada sejumlah negara maju.

Inggris dan Amerika Serikat (AS) misalnya. Dua negara ini bahkan secara terbuka akan memboikot diplomatik pelaksanaan Olimpiade Beijing 2022.

Ini artinya sejumlah pejabat negara dan rombongan diplomat dipastikan tidak akan hadir, meski negara mereka tetap mengirim utusan atlet yang akan berlaga pada sejumlah cabang pada 4 Februari 2022.

Berbagai persoalan yang terjadi di China, salah satunya mengenai dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di sana menjadi salah satu penyebabnya.

China sebelumnya juga masih ngotot jika Laut Natuna Utara atau yang disebut sebagian pihak sebagai Laut China Selatan masuk sebagai wilayah kedaulatannya.

Diplomat China bahkan secara berani menyurati Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) serta meminta menghentikan aktivitas pengeboran minyak dan gas (migas) di sana.

Baca juga: China Usik Laut Natuna Utara Kepri, Desak Indonesia Stop Pengeboran Migas

Baca juga: Perusahaan China hingga Amerika Serikat Sahamnya Rontok Imbas Covid-19 Varian Omicron

Yang jelas-jelas itu merupakan wilayah kedaulatan Republik Indonesia.

Kepala Badan Intelijen Inggris (MI6) Richard Moore bahkan sebelummnya memperingatkan tentang jebakan utang dan jebakan data oleh China.

Khususnya berbalut dengan kerja sama investasi.

China pun bereaksi dengan sikap prihatin Amerika Serikat dan Inggris tentang persoalan yang terjadi di China.

Lewat juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Webin, ia meminta agar G7 berhenti mengganggu kepentingan China.

Seperti diketahui, Amerika Serikat dan Inggris masuk dalam negara anggota G7.

Termasuk Jepang, Jerman, Kanada, Prancis dan Italia.

China makin terusik setelah muncul pernyataan bersama yang dikeluarkan Menteri Luar Negeri Inggris, Elizabeth Truss sebagai Ketua Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri dan Pembangunan G7 di Liverpool, Minggu (12/12/2021), menyatakan keprihatinan mereka terkait Xinjiang, Tibet, Hong Kong, Laut China Selatan, dan Taiwan.

"Posisi China mengenai masalah ini tetap konsisten dan jelas. Kami mendesak negara-negara seperti AS dan Inggris untuk menegakkan hak hidup dan kesehatan rakyat mereka dan melakukan upaya-upaya untuk mencegah lebih banyak orang kehilangan nyawanya akibat pandemi, ketimbang berbicara mengenai demokrasi dan hak asasi manusia di arena internasional,” ujar Wang seperti dilansir CGTN.

Baca juga: Penjara Super Ketat China Kebobolan oleh Orang Ini Hanya Hitungan Menit, Siapa Dia?

Baca juga: Cadangan Migas Laut Natuna Utara yang Diklaim China, Singapura Sempat Dibuat Pusing

Wang menyebut, jumlah penduduk Amerika Serikat (AS) dan Inggris sebesar sekitar 5 persen dari penduduk dunia dan memiliki perekonomian dan teknologi kedokteran yang maju.

Tetapi kedua negara tersebut, kata Wang, memiliki tingkat infeksi dan kematian akibat Covid-19 sebesar masing-masing 23 persen dan 18 persen.

Dia juga mendorong AS dan Inggris serta negara-negara lainnya untuk meninggalkan praktik-praktik seperti penahanan secara sewenang-wenang terhadap warga negara lain.

Kemudian penekanan tak beralasan terhadap perusahaan-perusahaan tertentu, serta penerapan langkah-langkah koersif yang semena-mena seperti penjatuhan sanksi unilateral yang tidak sah.

Wang menyerukan dibentuknya perdagangan internasional dan lingkungan investasi yang terbuka, inklusif, transparan, dan tidak diskriminatif.

Serta menghormati hak dan kepentingan pembangunan yang sah negara-negara lain.

“Kami mendesak AS dan Inggris meninggalkan mentalitas Perang Dingin, mengoreksi praktik menarik garis-garis ideologi, mempraktikkan multilateralisme yang tulus, dan melakukan sesuatu yang berguna untuk menegakkan solidaritas internasional dan bersama-sama menangani tantangan-tantangan global, ketimbang memecah belah dunia dan membangun hambatan-hambatan artifisial, guna memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia,” ucapnya.(TribunBatam.id) (Kompas.com/Aditya Jaya Iswara)

Baca juga Berita Tribun Batam lainnya di Google

Berita Tentang China

Sumber: Kompas.com

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved