Kelapa Langka, Pedagang Santan di Natuna Terpaksa Datangkan Bahan Bakunya dari Kalimantan

Demi menjaga kelangsungan usahanya, Idel, pedagang santan di Pasar Ranai Natuna terpaksa mendatangkan kelapa tua dari Kalimantan Barat.

Penulis: Birri Fikrudin | Editor: Dewi Haryati
Birri
KIOS PEDAGANG SANTAN - Suasana di Kios Pedagang Santan Kelapa di Pasar Rakyat Ranai, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepri. Selasa (13/5/2025). Seorang pedagang santan di Pasar Ranai Natuna terpaksa mendatangkan kelapa tua dari Kalimantan Barat demi menjaga kelangsungan usahanya 

NATUNA, TRIBUNBATAM.id - Harga santan di Pasar Rakyat Ranai, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepri masih melambung tinggi.

Melambungnya harga santan dipicu tingginya harga dan kelangkaan kelapa tua.

Dari pantauan Tribun Batam.id, Selasa (13/5/2025), santan kelapa dijual dengan harga Rp30 ribu per kilogram. 

Kenaikan harga ini sudah terjadi sejak Lebaran Idulfitri lalu, dan belum juga mengalami penurunan.

Salah satu pedagang santan kelapa di pasar, Idel mengungkapkan, harga tersebut bertahan karena sulitnya mendapatkan bahan baku, yakni kelapa tua.

“Dulu sebelum Lebaran masih Rp24 ribu per kilo, tapi sejak Lebaran sampai sekarang tetap Rp30 ribu. Belum turun-turun,” ujarnya saat ditemui di lapaknya.

Menurutnya, kelangkaan kelapa tua bagi pedagang santan di Natuna telah terjadi sejak awal 2025. 

Bahkan, demi menjaga kelangsungan usahanya, saat ini ia terpaksa mendatangkan kelapa tua dari Kalimantan Barat.

“Kelapa tua di Natuna sekarang susah dicari. Kelapa yang belum cukup tua saja sudah dijual petani ke pengepul karena harganya bagus. Mau tidak mau, saya pesan dari luar daerah, biasanya Kalbar,” ungkapnya.

Sekali kirim, Idel memesan antara 2 hingga 2,5 ton kelapa tua. 

Namun, kelapa yang didatangkan merupakan jenis hibrida yang ukurannya relatif kecil.

“Kelapa hibrida itu, untuk satu kilo bisa 6 sampai 7 butir. Harga belinya juga sudah Rp6 sampai Rp7 ribu perkilo,” ujarnya.

Tingginya harga bahan baku, membuat para pedagang tidak bisa lagi menjual santan murni seperti sebelumnya.

“Sekarang terpaksa kami campur air. Kalau dijual murni, nanti harga terlalu tinggi, kasihan pembeli,” kata Idel.

Tak hanya itu, daya beli masyarakat juga ikut menurun. Pelanggan seperti rumah makan yang biasa membeli dalam jumlah besar, kini mengurangi pembelian.

Sumber: Tribun Batam
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved