Mahkamah Konstitusi Putuskan Nasib UU Cipta Kerja, Buruh Minta 4 PP Dibatalkan
Serikat buruh meminta 4 Peraturan Pemerintah (PP) dibatalkan setelah MK memutus nasib UU Cipta Kerja. Berikut alasannya.
Apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, omnibus law UU 11/2020 Cipta Kerja tersebut akan otomatis dinyatakan inkostitusional bersyarat secara permanen.
Baca juga: Syarat Terapkan UU Cipta Kerja, HKI Kepri Minta 61 Perizinan Dilimpahkan ke BP
Baca juga: Resmob Ringkus Pengangguran dan Eks Mahasiswa, Bakar Motor Polisi Saat Demo Tolak Omnibus Law
Selain itu, Mahkamah menyatakan seluruh UU yang terdapat dalam omnibus law UU 11/2020 Cipta Kerja tetap berlaku sampai dilakukan perbaikan.
Anwar pun menyebut bahwa pihaknya juga menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas dari omnibus law UU 11/2020 Cipta Kerja.
Tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
"Menyatakan apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk Undang-Undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja maka Undang-Undang atau pasal-pasal atau materi muatan Undang-Undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali," ucap Anwar seperti dikutip Tribunnews.com.
Sementara Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirat mendesak Peraturan Pemerintah yang terlanjur diterbitkan dan berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja untuk dibatalkan.
Terdapat 4 Peraturan Pemerintah yang diminta untuk dibatalkan.
Antara lain PP No.34 Tahun 2021 tentang Tenaga Kerja Asing (PP TKA), PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK).
Kemudian PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan PP No.37 Tahun 2021 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (PP JKP).
"Keempat PP tersebut berdampak pada hilangnya jaminan kepastian pekerjaan, jaminan upah dan jaminan sosial, yang sebelum adanya UU Cipta Kerja telah diatur dalam UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan," ucap Mirah dalam pernyataannya, Jumat (26/11/2021).
Mirah menegaskan Pasal-pasal yang terdapat dalam UU Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah turunannya mempermudah terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
"Kemudahan PHK akan berdampak pada peningkatan angka pengangguran, melemahnya daya beli, menurunnya angka konsumsi rumah tangga yang berujung pada penurunan perputaran ekonomi nasional dan mempengaruhi angka pertumbuhan ekonomi nasional," tuturnya.
Upah minimum juga termasuk kebijakan strategis dan berdampak luas karena mayoritas pekerja formal adalah pekerja penerima upah minimum.
Baca juga: Buruh Batam Tetap Tolak Omnibus Law, Desak Presiden Keluarkan Perppu
Baca juga: VIDEO Demo Buruh di Bintan, Soroti UMK 2021 & UU Cipta Kerja, Dua Buruh Reaktif saat Rapid Test
Mirah juga mengingatkan Pemerintah untuk lebih berpihak kepada rakyat, apalagi setelah Hakim MK juga telah menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
"Ini membuktikan bahwa Pemerintah dan DPR telah bertindak ceroboh dalam proses pembentukan Omnibus Law UU Cipta Kerja," pungkas Mirah.