Nizar Buktikan Mimpinya Jadi Kenyataan, Dari Anak Guru Ngaji Kini Bupati Lingga
Nizar kecil pernah bermimpi jadi orang besar. Mimpi itupula yang mengantarkan anak nelayan dan guru ngaji di Desa Kelombok ini menjadi Bupati Lingga
Penulis: Febriyuanda | Editor: Dewi Haryati
Makanya Gunung Daik itu salah satu nama dari Lingga hari ini.
Baca juga: Tempat Wisata di Lingga, Museum Linggam Cahaya Jadi Pusat Informasi Sejarah
Kalau kita melihat dari Kamus Besar Bahas Indonesia, Lingga itu adalah kelaki-lakian dari dewa Siwa.
TB: Waktu mejabat jadi Bupati, lalu potensi apa yang Bang Nizar lihat bisa dikembangkan di Kabupaten Lingga?
MN: Ini saya lanjutkan untuk pertanian, perikanan, peternakan, dan pariwisata. Dalam proses perjalanan untuk pertanian saya dan Wakil Bupati Lingga Neko Wesha Pawelloy, kita mau memulai ini harus betul-betul menjadi konsen kita.
Soal pertanian, ditanya Bapenas kemarin ini sudah menghasilkan berapa ton untuk dijual?
Saya bilang masih merangkak-merangkak baru memulai, karena kita merubah mindset saat itu.
Setelah itu ditanya yang lain ada lagi program unggulannya?
Saya bilang perikanan, karena perikanan kita wilayah laut memang berpotensi, tapi ketika ditanya berapa ton yang dihasilkan, cuma 60 ton pertahun, itu belum masuk kriteria Pemerintah pusat, peternakan apalagi.
Nah, yang sudah siap hari ini sebenarnya pariwisata. Jadi ketika ditanya wisata apa yang tidak dimiliki wilayah lain, ya saya bilang wisata sejarah.
Nah, itu lah kata dia kekuatan sesungguhnya di Lingga. Mau nginjak usia ke-19 tahun Lingga, baru itulah Bappenas turun sampai ke Kabupaten Lingga.
Mudah-mudahan ini bisa mengangkat batang yang tenggelam, yang hari ini betul-betul mengangkat wisata sejarah.
Jadi kesejarahan yang pertama itu Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, yang berakhir pada kerajaan Riau-Lingga, yang sudah dimulai pada tahun 1787 pada masa Sultan Mahmud Riayat Syah III, kemudian berakhir sampai 1900 dengan pusat pemerintahan yang berada di Daik Lingga ini.
TB: Kalau gak salah di sini (Daik Lingga) juga melahirkan pahlawan Nasional ya pak?
MN: Ya benar, itu menarik sekali. Jadi imperium kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dan berakhir ke Riau-Lingga itu, kalau orang awam mungkin menganggap ini tidak populer, karena di Indonesia sendiri tidak ada menceritakan atau mencatat kesejarahan Riau-Lingga ini.
Kemudian tidak ada sedikitpun dokumen dari Bappenas yang menceritakan tentang kesejarahan ini dan itu baru-baru saja ketika kami yang mendorong.
Kemudian kita mungkin waktu itu dianggap sebagai bagian dari Malaysia, Singapore, atau Johor.
Jadi dianggap kesultanan Lingga itu bukan berada di Indonesia, tapi Malaysia. Padahal kita dari Provinsi Kepri negara Republik Indonesia. Alhamdulillah, ini mulai diperhatikan dan mulai dilirik.
Setelah jadi imperium Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang ini ada tiga pahlawan nasional.
Tiga pahlawan nasional ini betul-betul dari imperium kesultanan kita. Itu tahun 1997 Raja Haji Fisabilillah pahlawan nasional di Penyengat, kemudian tahun 2004 itu Raja Ali Haji Fisabilillah di Penyengat juga, dan 2017 Sultan Mahmud Riayat Syah menjadi pahlawan nasional, itu bagian dari Kesultanan Riau-Lingga.
Kita cukup terkenal dengan Bunda Tanah Melayu, selain sebagai Bunda Tanah Melayu, Kabupaten Lingga ini adalah negerinya para sultan.
TB: Untuk museum di Daik saja, atau di Dabo ada juga?
MN: Di Daik ini Musuem Linggam Cahaya dan di Dabo itu Museum Timah.
TB: Untuk di Museum Linggam Cahaya ini, apasih yang menjadi koleksi di sini?
MN: Museum Linggam Cahaya ini, barang-barang yang ada di sini rata-rata peninggalan dari Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, kemudian ada kerajinan, kesenian nah seperti itu.
TB: Apakah Museum Linggam Cahaya ini menjadi konsep untuk menjadi daya tarik wisata sejarah?
MN: Oh itu sudah pasti, karena bicara masalah Museum, Musuem Linggam Cahaya ini paling representatif di Provinsi Kepri dan juga Museum yang paling besar. Dan hari ini, kalau kita bicara soal Warisan Budaya Tak Benda atau WBTB, di Museum Linggam Cahaya ini banyak kita lihat, yang barangnya asli.
TB: Kalau di Museum Linggam Cahaya, berarti ini rangkaian sejarah kesultanan? Seolah-olah kita dibawa ke masa lalu
MN: Benar sekali, di Museum Linggam Cahaya ini yang kita lihat baik itu di lantai 1 dan lantai 2, itu kebanyakan yang masih asli.
Kalau wisatawan, ini tempat wajib mereka untuk datang, dari Malaysia, Johor, dari Singapore, kemudian ada juga dari negara Eropa lainnya juga ada. Kemudian wisatawan dari lokal Indonesia dari Riau, termasuk juga Sumatera.
MN: Selain Museum, ada Tapak Istana Damnah dan Replika Istana Damnah nya, kemudia ada bilik 44, ada tapak Istana Kota Batu, ada Makam Merah yang dipertuan muda ke 10, Raja Muhammad Yufus Al Ahmadi, ada empat sultan, kemudian ada Masjid Sultan Lingga.
TB: Di Lingga ini ada gak bang potensi lain yang bisa dikembangkan?
MN: Memang Kabupaten Lingga ini kekuatan sesungguhnya ada pada nilai sejarahnya, selain ada di Daik, tapi ada juga di Dabo Singkep.
Di Dabo Singkep ada kota tambang timah, itu sudah dimulai dari abad ke 19 dari Kesultanan Sulaiman Badrul Alamsyah II dari 1857-1883.
Kemudian dilanjutkan dari Belanda tahun 1934, itu dieskplorasi secara besar-besaran, kemudian di tahun kemerdekaan RI itu diambil alih oleh BUMN di 1992. (Tribunbatam.id/Febriyuanda)
Baca juga Berita Tribun Batam lainnya di Google
